Posts

Usai dihelat selama empat hari berturut-turut, Panggung Budaya Denpasar Festival ditutup pada Rabu, 25 Desember 2024 bertepatan dengan Perayaan Hari Natal. Kendatipun hari terakhir, tak lantas mengurangi kualitas maupun semaraknya. Lapangan Puputan Badung dipadati oleh pengunjung berkat animo yang membludak di hari terakhir. Panggung Budaya tetap menjadi primadona dengan beragam penampilan seni tradisi yang selalu memukau; mengundang gelak tawa, memantik rasa haru, dan praktis mendapat decak kagum dari penonton atas kepiawaian para seniman dalam menjiwai tiap pementasannya.

 

Pertunjukan Barong Landung Mepajar

 

Dibuka dengan Barong Landung Mepajar yang dibawakan oleh Panca Yowana Kanti, Desa Adat Sumerta, Denpasar Timur. Pertunjukan ini menghidupkan tokoh legendaris Barong Landung dalam ritual simbolis yang memancarkan keagungan tradisi Bali. Penampilan diiringi gamelan tersebut efektif mengundang atensi pengunjung untuk merapat ke panggung.

I Gede Wira Buana Putra, perwakilan Sekaa Panca Yowana Kanti, menyampaikan rasa bangganya karena dapat menampilkan warisan tradisi tanah kelahirannya di Denpasar Festival. “Kami menampilkan suatu local genius dari Desa Adat Sumerta. Pertunjukan Barong Landung Mepajar merupakan salah satu identitas kesenian tradisi yang masih kuat kami warisi hingga sekarang. Kami sangat bangga mendapatkan kesempatan untuk melakukan pementasan. Harapan kedepannya, semoga Denpasar Festival bisa lebih kreatif untuk menampilkan seni tradisional dan modern,” ujarnya dengan nada riang dan perasaan penuh bangga.

 

Penampilan Drama Putri Ayu

 

Selanjutnya, Komunitas Seni Universitas Pendidikan Mandala Indonesia (UPMI) Bali menyuguhkan sendratari bertajuk Drama Putri Ayu, sebuah kisah penuh makna yang memadukan elemen teater tradisional dengan modern. Penampilan ini mendapat apresiasi hangat dari penonton atas pengemasan menarik dari narasi, dialog, musik, teater, hingga unsur tarian yang jadi pelengkap pertunjukannya.

Sebagai penutup, Teater Antariksa dari SMAN 7 Denpasar mempersembahkan Drama Cupak Gerantang, sebuah kisah klasik yang penuh pesan moral tentang pertarungan antara kebaikan dan kejahatan. Pertunjukan teater tradisional ini menampilkan dialog yang intens, cerita yang detail, serta pesan moral penuh makna dengan penjiwaan masing-masing karakter yang kuat. Pementasan ini meninggalkan kesan mendalam bagi para penonton sekaligus menjadi penutup Panggung Budaya Denpasar Festival ke-17.

 

Pementasan Teatrikal Drama Cupak Gerantang

 

Usai pentas, Galang dan Tresna, perwakilan Teater Antariksa mengungkapkan rasa syukurnya karena telah menampilkan pertunjukan dengan baik. “Hikmah dari Drama Cupak Gerantang ini semoga bisa tersampaikan dengan baik ke audiens. Kedepannya semoga Denfest semoga semakin meriah dan dapat terus mewadahi anak muda untuk berkarya dan berkreatifitas,” pungkasnya dengan nada riang.

Panggung Budaya menghadirkan rangkaian penampilan seni yang menggambarkan kekayaan tradisi dan kreativitas masyarakat Bali. Melibatkan para yowana Denpasar hingga komunitas seni siswa dan mahasiswa, penampilan Barong Landung hingga pementasan teatrikal menjadi penutup apik Panggung Budaya Denpasar Festival ke-17. Semakin menegaskan citra Denpasar sebagai kota pusat kreativitas berbasis budaya.

Gelaran kreatif akhir tahun Denpasar Festival juga aktif berkolaborasi dengan banyak pihak untuk dapat menampilkan garapan terbaik di hadapan warga kota sekaligus menjadi ruang berproses bagi pelaku seni. 

Memasuki hari ketiga pelaksanaan Denfest ke-16, panggung budaya tak henti-hentinya memberiikan sajian menarik bagi warga kota yang ingin mencari pelipur lara. Tepat pukul 17.30 WITA panggung budaya dibuka dengan penampilan partisipasi dari Konsulat Jenderal (Konjen) India dengan menarikan “Dheem Ta Dare”. Delapan orang penari tersebut pun berhasil memukau penonton dengan tariannya. Setelah itu, penampilan bergeser untuk menengok sejarah Ponorogo melalui “Tari Natryam” yang disajikan oleh Sanggar Duta Nusantara. 

Penampilan tarian partisipasi Konjen India

 

Menyaksikan sejarah Ponorogo di sore hari

Tari tersebut merupakan representasi ketika kejayaan Kerajaan Majapahit sedang dalam bahaya, untuk itu rakyat melakukan protes agar kerajaan kembali jaya lewat tarian yang mengharapkan masa depan cerah kepada raja dan ratu. “Kalau pementasan ini lebih ke sejarah Ponorogo, Kerajaan Majapahit yang waktu itu mau runtuh dan pada saat itu mereka melakukan protes bahwa raja sudah banyak dikendalikan sang istri. Oleh karena itu reog itu kepala singa dilambangkan sebagai raja Majapahit, dan merak dilambangkan sebagai istri dari raja Majapahit,” tutur Danang selaku salah satu penggagas karya tersebut. Dalam tarian tersebut pun tersisip pesan bahwasanya bagaimana sebagai pemimpin agar senantiasa tak mudah terpengaruh oleh orang lain. 

Kolaborasi penyanyi pop Bali bersama Teater Wong Kutus dalam drama musikal

Tak kalah seru, ketika malam tiba Teater Wong Kutus yang berkolaborasi dengan penyanyi pop Bali ikut serta menampilkan drama musikal berjudul “Balakosa” di pemanggungan budaya hari kedua. Adapun penyanyi yang ikut terlibat ialah De Ama, Ayu Saraswati, Trisna, dan yang lainnya. Penampilan tersebut berceritakan mengenai tiga orang dengan latar belakang dan permasalahan berbeda, hingga akhirnya mereka dipertemukan dengan ciri khas masing-masing mereka mencipta sebuah pilar kejayaan. 

Penampilan teater remaja SMA Negeri 8 Denpasar bersama penyanyi pop Bali tersebut mendapat riuh tepuk tangan penonton sekaligus mengobati rindu warga kota akan nyanyian pop Bali. Resta selaku salah satu anggota Teater Wong Kutus mengungkapkan rasa leganya seusai tampil di atas panggung, “Sekarang sangat lega dan pastinya senang karena sudah tampil dengan lancar, kemudian apresiasi karena Denfest keren banget bisa menginovasikan seniman-seniman baru,” tuturnya. 

Penampilan spesial dari Oemah Drum Creative bersama WYP Art Foundation sebagai penutup hari ketiga Denfest ke-16

Pukul 22.00 WITA, pemanganggungan budaya kembali digemparkan dengan permainan musik dari bambu, para seniman yang tergabung dalam kolaborasi Oemah Drum Creative bersama WYP Art Foundation menghasilkan musikalisasi yang harmonis di malam hari. Tak sampai disana, suara drum dan alat musik tradisional Bali lainnya mulai mengalun seolah memberikan kobaran semangat kepada penyaksinya. Selain itu, penampilan musik juga disertai dengan tarian api. Melihat hal tersebut, penonton pun ikut bersorak dan tidak lupa mengabadikan momen pada acara penutup hari ketiga Denfest di panggung budaya.