Denpasar Festival ke-16 telah sampai pada penghujung perhelatan. Pengunjung pun datang berbondong-bondong menyaksikan kesenian khas Bali di alun-alun selatan Lapangan Puputan Badung
Meskipun kawasan Denpasar Festival ke-16 sempat dibasahi oleh air hujan selama sekejap, tetapi semarak pengunjung tak kunjung henti. Dimulai tepat pukul 17.30 WITA, selama sepuluh menit Sanggar Himawari Yosakoi Dwisma yang merupakan bentuk partisipasi dari Konsulat Jenderal Jepang menampilkan tarian bernama Yosakoi pada Senin (25/12). Tarian tersebut menceritakan tentang laut dan segala aktivitasnya.
Memasuki penampilan yang kedua, Sanggar Capung Gandok membawakan lantunan musik tradisi yang amat syahdu. Musik tersebut merupakan gabungan dari Jegog yang berasal dari Kabupaten Jembrana dengan nada diatonis dengan alat musik bagian ujung timur Bali yaitu mandolin. Musik yang terbuat dari bambu tersebut mampu mengalun dengan sangat indah ditambah lagi dengan lagu yang dibawakan bertemakan “Kesiran” dan “Muntig“. “Lagu kesir merupakan musik kontemplasi atau renungan yang terinspirasi dari kesiran angin dan lagu kedua kita menggambarkan tindak yang dalam bahasa indonesia berarti langkah,” tutur I Wayan Budi Hartawan selaku pencipta garapan tersebut. Dengan waktu persiapan hanya satu dibulan dimulai dari menyusun konsep dan mempelajari alat musik, Capung Gandok mampu menghadirkan suguhan yang tidak biasa di deapan warga kota. “Senang bisa diberi kepercayaan untuk tampil di Denfest, hasil karya kita berani ditunjukkan di Denfest yang merupakan acara yang sangat meriah dan sangat besar,” papar Budi.
Hari pun sudah mulai gelap, nuansa magis kini tampak di pemanggungan, Kubu Kayumas Art menampilkan garapan musik kontemporernya dengan judul “Tabuh Petegak Laras Mas”. Garapan tersebut terinspirasi dari kisah pengorbanan Sutasoma untuk menjadi mangsa singa betina yang digurat dalam Kekawin Sutasoma.
Tak berhenti disana, panggung budaya beralih ke penampilan spesial bertajuk “Tari Watak Sewu” dari Wacika. Dengan iringan selonding, tarian tersebut mengisahkan mengenai banyak sifat yang ada dalam diri, disebut Kandapat atau empat saudara dalam keparcayaan Hindu dan diinovasikan kembali dengan imajinasi sang kreator.
Selanjutnya, Manik Metu mengajak pengunjung untuk bernostalgia akan aktivitas masyarakat Bali tahun 1930’an yang sangat jarang ditemukan di zaman sekarang. Visual yang ditampilkanpun menggambarkan keseharian di tahun tersebut dari segi pakaian hingga tampak beberapa perempuan yang menjunjung keranjang.
Lebih lanjut, sebuah komunitas seni Kota Denpasar turut memeriahkan panggung budaya hari terakhir dengan menampilkan garapan berjudul “The Mystical of Lotus”. Merujuk pada tema Denpasar Festival yaitu Jayastambha, Pilar Kejayaan, Naluri Manca merespon dengan menghadirkan simbol-simbol seperti bunga lotus yang bermakna kesejahteraan dan harmonisasi, serta kupu-kupu yang merupakan the queen of butterfly dan ditutup dengan simbol dunia laut atau the world of atlantis sebagai bentuk keindahan ketika pilar bisa dijaga dengan baik.
Di tengah persiapan, Ida Bagus Eka Haristha selaku salah satu pencetus Naluri Manca turut mengungkapkan perasaannya ketika dipercaya kembali untuk tampil di Denpasar Festival, “luar biasa sekali pusat kota di Bali, kota Denpasar mampu berkesinambungan menyediakan sebuah ruang yang dimana ruang ini semua membutuhkannya ada kreativitas, UMKM, sarana publikasi, dan mediaa. Naluri Manca pun selalu siap terlibat, memberikan kesempatan bagi generasi baru dan ada ruang untuk mereka mengeksplorisasi diri mereka ini yang membuat kreativitas itu tidak pernah putus,” ungkapnya