Denpasar Sineas Festival tidak hanya mewadahi pemutaran karya film sineas lokal Bali. Terdapat program Indonesia Raja 2021: Aceh bertajuk “Seja Kala Kuasa Lelaki” dari komunitas Minikino yang turut memeriahkan layar Mini Theater Gedung Dharma Negara Alaya. Jauh-jauh mendatangkan film dari para sineas Aceh, ada hal penting yang disuarakan: upaya melepaskan diri perempuan dari belenggu konstruksi sosial yang menempatkannya pada posisi yang terpinggirkan.
Setidaknya, ada lima film pendek yang diputar dalam program ini. Pada catatan durasi program selama 55:52 menit yang ditulis oleh Muhammad Akbar Rafsanjani itu diungkapkan “ingin memperlihatkan betapa inti masalah yang diterima perempuan adalah relasinya dengan patriarki, hingga upaya untuk sadar diri dan membalik kuasa atas relasi ini”. Misi inilah yang menyebabkan keseluruhan tokoh atau subjek utama dalam film adalah perempuan. Film-film tersebut diantaranya Momo (2020), Poe Rumoh (2020), Elin (2020), Hana Agata (2020), dan Klinik Nenek (2020).
Secara keseluruhan, film-film tersebut sebenarnya tidak secara gamlang merepresentasikan relasi kuasa patriarki. Sebaliknya, cenderung mengandung spirit kisah-kisah keberdayaan perempuan untuk melepaskan belenggu konstruksi sosial yang merugikan dirinya dalam tatanan masyarakat. Memang, keseluruhan film menarik untuk diulas. Namun, terdapat dua film yang memiliki perspektif yang sangat jeli dalam menyajikan permasalahan utama program Senja Kala Lelaki ini. Ialah Poe Rumoh (2020) dan Elin (2020).
Poe Rumoh (2020): Laki-laki ialah Korban sekaligus Pelaku Patriarki
Film Poe Rumoh memiliki sudut pandang menarik. Film ini, alih-alih memandang dikotomi problematika antara laki-laki dan perempuan dalam relasi kuasa patriarki. Film Poe Rumoh menawarkan perspektif yang lebih genting; perempuan dan laki-laki sama-sama memiliki posisi yang rentan. Laki-laki menjadi korban sekaligus pelaku patriarki. Lebih lanjut, film berdurasi 07:33 menit garapan sutradara Fadhilul Umami (2020) itu berlatar tragedi simpang KAA pada tahun 1999. Sebuah peristiwa yang berlangsung saat konflik Aceh pada tanggal 3 Mei 1999 di Kecamatan Dewantara, Aceh. Saat itu, pasukan militer Indonesia menembaki kerumunan warga yang sedang berunjuk rasa memprotes insiden penganiayaan warga yang terjadi pada tanggal 30 April di Cot Murong, Lhokseumawa. Banyak istri yang kehilangan suaminya.
Latar kejadian tersebut menjadi nadi utama film; mengisahkan kesedihan tokoh utama yang ditinggal suaminya akibat tragedi simpang KAA. Ada satu dialog yang sangat melekat dan menyampaikan betapa rumitnya posisi suami dari sang tokoh utama. “Jangan sampai kita dijauhi oleh masyarakat. Biarpun abang pergi lama…” ujarnya seraya bersolek. Sang istri yang terus menanti, ternyata mendapatkan kabar mengejutkan atas kepulangan suaminya. Demi mendapatkan penerimaan dalam masyarakat sekitar pada saat itu, ada ‘harga’ yang mesti dibayar. Sang laki-laki mengemban tanggung-jawab dalam menjaga kehormatan rumah tangganya. Menjalani konstruksi sosial masyarakat bahwa lelaki harus menjadi yang terdepan dalam pergumulan yang melibatkan fisik. Sementara sang perempuan merelakan kepergian suaminya tanpa kabar, tanpa kepastian, demi kepentingan komunal.
Elin (2020): Melepas ‘Penjara Tubuh Sosial’ Disabilitas
Selanjutnya, Film Elin (2020) karya sineas Aceh, Andri Saputra, juga tidak kalah menarik. Tokoh utama, Elin, ialah perempuan difabel yang mengadvokasi isu-isu disabilitas di kalangan pemuda Aceh. Film dokumenter ini merekam kesehariannya. Memang, film Elin tidak menghadirkan secara signifikan isu relasi kuasa patriarki. Film ini menggeser problematika pada tataran yang lebih umum: konstruksi sosial yang menjurus pada pihak-pihak tertentu, seperti disabilitas. Bagi Elin, para disabilitas selalu lekat dengan stigma bahwa mereka pasti akan melalukan hal yang dilabelkan sebagai tindakan di luar normal. Seperti sakit jiwa, pengganggu, pengusik, memukul orang, dan lainnya. Elin dalam film itu berpendapat bahwa disabilitas dapat dipandang seperti orang-orang pada umumnya, berbeda-beda tanpa embel-embel kebutuhan istimewa. Ada satu kalimat menohok: “istilah normal atau tidak normal itu tidak ada untuk manusia,” katanya dalam film berdurasi 14:56 menit itu.
Elin dalam film itu menggugat persoalan stigma yang menempel pada tubuh sosial para disabilitas. Tubuh bukan hanya sebuah fenomena biologis. Ia dikonstruksikan secara sosial dengan mengeluarkan berbagai konsep-konsep yang sifatnya tidak tetap. Terlihat, Elin mengungkapkan beberapa stigma disabilitas yang mempengaruhi kondisi psikologisnya sebagai penyintas bencana Tsunami Aceh. Elin, disabilitas perempuan yang tegar itu mencoba menyampaikan gagasan untuk terbebas dari berbagai hambatan dunia nyata maupun segala ‘penjara tubuh’ yang di dalamnya terkandung identitas diri normal dan abnormal yang menempatkan ia dan kawan-kawan disabilitasnya terpinggirkan dari masyarakat.
Lebih lanjut, program pemutaran film “Senja Kala Kuasa Lelaki” patut diapreasiasi. Pada konteks pengamatan lebih luas, film-film yang tersaji berupaya membawa isu-isu sosial terpinggirkan yang belum mendapatkan tempatnya pada perbincangan utama masyarakat.
Simak karya-karya film dari para sineas lainnya dengan menonton lebih lanjut pada program Denpasar Sineas Festival. Cek informasi teraktual pemutaran film pada akun instagram @denpasarsineasfestival.
Leave a Reply
Want to join the discussion?Feel free to contribute!