Menua adalah garis tangan yang harus diterima setiap makhluk hidup di dunia ini. Namun, selamanya muda adalah pilihan yang tidak semua orang mampu untuk mewujudkannya, tetapi Arini berbeda. Jiwa mudanya selalu mengalir dalam nadi, mendetak jantung, dan menghidupkan dunia tari Bali.
Derap langkah kakinya perlahan pasti menuju lemari kayu tua dengan cermin seukuran tubuhnya. Ketika bercermin, wanita itu memerhatikan dengan cermat kostum tari yang ia kenakan. Perlahan kedua tangannya yang tampak keriput mengambil gelungan (hiasan kepala untuk menari Bali) dan mengenakannya sembari bercermin sekali lagi. Hampir dua jam wanita itu menari di depan kamera. Usai pengambilan gambar dirinya, kala sang waktu menunjukkan pukul 17.00 WITA, Ni Ketut Arini, rehat, melepas gelungannya dan membuka obrolan senja hari dengan manisnya nostalgia.
Pengelanaan ingatan masa lalunya, berlabuh pada lingkungan keluarga yang menghidupkan hasratnya untuk menari. Arini begitu ia akrab disapa menuturkan satu keluarganya adalah seniman. Ayah Arini, I Wayan Sapluh adalah seorang guru penabuh gamelan. Sang ibu, Ketut Samprig gemar mekidung (melantunkan tembang Bali), dan pamannya yakni Wayan Rindi, adalah penari sekaligus guru tari Bali terkenal dimasanya. “Jadi saya waktu kecil itu melihat paman saya menari, mengajar di sanggar tari dan saya waktu itu ikut mengajar,” kenang Arini.
Darah seni yang mengalir, membuat Arini merasakan kebahagiaan tatkala dirinya pertama kali menari di depan umum saat menginjak kelas 3 Sekolah Dasar (SD). “Kelas 3 SD saya menari pertama, paling bahagia dalam hidup saya karena saya ingin sekali menjadi penari,” tutur Arini bahagia. Semakin hari semakin sering Arini menari, membuat wanita kelahiran 15 Maret 1943 ini bersemangat untuk melatih kedua adiknya menari sebagai pengalaman awalnya mengajar.
Pada usia 14 tahun, Arini pun secara resmi mendapat kepercayaan dari sang paman untuk bersama-sama berkeliling mengajar tari Bali. Arini pun menirukan penuturan pamannya yang selalu membimbingnya. “Tut sudah bisa jadi guru, tapi ini diperbaiki, ini harus diperbaiki. Jadi terus saya diajari untuk memperbaiki kesalahan penari, itu yang menarik sekali karena setelah itu saya lebih bagus jadi gurunya,” papar wanita yang melabuhkan Condong sebagai tari pertama yang dipelajarinya.
Masa muda Arini tak hanya diwarnai dengan menari, wanita asli Denpasar ini pun tetap berkonsentrasi mengenyam bangku pendidikan. Selepas menamatkan SD di Sekolah Rakyat Kesiman dan Sekolah Rakyat Sumerta, Arini melanjutkan pendidikan menengah pertamanya di SMP Dwijendra. Masa putih abu-abunya ia habiskan di Sekolah Konservatori Kerawitan Indonesia Jurusan Bali (Kokar Bali).
Begitu lulus dari Kokar Bali, Arini langsung didapuk sebagai pengajar tari di Kokar Bali. Ambisi dan rasa cintanya mempelajari tari Bali pun memantapkan diri Arini untuk meraih gelar sarjananya Akademi Seni Tari Indonesia Denpasar. Pengabdiannya menjadi pahlwan tanpa tanda jasa dengan Kokar terpaksa harus terhenti ditahun 1996 karena dirinya dipercayai sebagai tim pengawas SMK se-Bali.
Tari Bali, Teman Menjelajah Dunia
Kemampuan tarinya yang mumpuni, disisipi pula dengan kemampuan Bahasa Inggris yang lumayan, menjadikan Arini terpilih untuk menari ke Filipina pada tahun 1965. Ia mengaku amat terkejut, sebab saat dirinya kembali ke tanah air tercinta, dirinya sudah muncul diberbagai koran.
Sejak saat itu, ibu dari 4 orang anak ini acap kali ke luar negeri. Penjelajahan Arini pun berlanjut ke negeri sakura yang ia lakukan pada tahun 1973. Arini berangkat bersama 5 orang. Bukan dengan sejentik jari Arini langsung melenggang ke Jepang, terlebih dahulu ia dan penari lainnya diuji oleh Listibya (lembaga pembinaan kesenian di Bali).
Penjelajahan Arini dengan tari Bali, terus berlanjut. Pada tahun 1983 ia menjelajah negara-negara di benua Eropa, seperti Belanda, Belgia, Perancis, Inggris, dan Swiss. Kala itu Arini berangkat dari kepercayaan Kokar. Misi kesenian pun berlanjut ke negeri Paman Sam pada tahun 1986. Perjalanannya ke Amerika diundang oleh Sanggar Sekar Jaya, sanggar tari Bali yang berlokasi di Amerika.
Kala itu ia pentas untuk pertama kalinya, sekaligus mengajar. “Sampai disana saya disuruh mengajar orang asing, membuat tarian baru, lalu pentas bersama. Jadi ada 3 saya dapat pengetahuan baru, saya bikin tari, mereka bikin gambelannya yang pertama itu Kawit Legong,” ungkap Arini. Sejak itu, bukan kali itu saja Arini menapaki diri ke Amerika, kunjungannya berlanjut secara berturut-turut ditahun 2001, 2005, berlanjut lagi ditahun 2010, 2011, dan terakhir ditahun 2013.
Hal yang paling dinikmati dalam setiap perjalannya adalah ketika ia selalu mendapatkan sumber penciptaan baru. Arini masih ingat betul perjalannya dalam menyusuri bagaimana Legong pertama kali diciptakan. Menurut cerita arini, daerah Pejogan Agung di Sukawati, di Ketewel asal mula legong pertama. Kala pertama ke lokasi, Arini terkesima melihat banyaknya tapel / topeng yang diupacarai setiap Hari Raya Pagerwesi, dan saat itu juga tarian itu urut ditarikan. “Waktu pertama ada itu, bingung kok ada tapel disini? Lalu melihat togog-togognya semua menari pakai pakaian legong. Disitulah orang Sukawati membikin legong pertama,” jelas Arini bersemangat.
Semua sejarah Arini tarikan di Amerika dengan konsep waktu lalu, waktu saat ini, dan waktu sekarang, Arini lanjut menceritakan, “yang sekarang ada di atas panggung, yang kemudian dan dulu ada wayang. Jadi kita main dengan wayang. Ada wayang disampingnya, ada tariannya. Diatas panggung itu yang today, apa yang terjadi saat ini. Dan wayang itu yang dulu dan yang akan datang.”
Janji dengan Sahabat di Negeri Sakura, Tak akan Berhenti Menari
Tak terbayang bagi Arini apabila ia tak berjumpa dengan Sakibara, wanita Jepang yang belajar menari Bali dengannya. Kala itu kondisi Arini telah menikah dan ia hanya mengisi hari-hari dengan mengajar menari di sanggarnya, Sanggar Warini. Saki, bertanya pada Arini kala itu Arini sampai umur berapa menari? Arini menjawab cukup lesu saat itu, tetapi tetap berusaha tegar. “Saya sudah berhenti menari, karena sudah punya anak, di Bali kan kalau sudah punya anak tidak menari lagi. Saya pikir diri saya begitu dulu,” kenang Arini.
Bukannya mengiyakan perasaan Arini, Saki sangatlah marah dengan keputusan Arini. Sambil menirukan perkataan Saki saat itu, Arini berujar, “jangan berhenti menari, umur saya sekarang sudah 42 tahun. Kamu masih umur segini mau berhenti menari, kamu mau jadi apa?” Arini merenung sejenak, penuturan Saki menampar dirinya.
Kondisi Bali yang erat dengan budaya patriarki, justru membelenggu bakat menari Arini yang kala itu sudah memiliki 2 orang anak. Saki mengajaknya berjanji dengan menyodorkan jari kelingkingnya. Arini menghapus keraguannya dan tidak ingin lagi menyia-nyiakan kesempatan. Keduanya pun mengikatkan janji agar selalu menari, dengan cara sederhana tetapi tetap hangat, kepercayaan dan janji kelingking.
“Makanya tiang terus ngingel nika, munyin iya dingeh tiang. Seken tiang terus ngajahin, ngigel.”
“Makanya saya terus menari, penuturan dia (Saki) saya dengarkan. Benar saya terus mengajar nari.”
Persahabatan Arini dan Saki terus berlanjut. Usia Arini saat itu telah menginjak ke-75 tahun dan Saki berusia 90-an tahun. Keduanya kerap berkomunikasi, tetapi belum pernah bertemu lagi secara langsung. Arini saat itu menuju ke negeri sakura karena ada misi seni lagi. Kala itu, ia tak menyangka bahwa Saki yang juga seorang guru tari, turut hadir di pementasan yang sama dengan Arini.
Haru pun pecah, murid Arini dan murid Saki berinisiatif mempertemukan keduanya. Ia heran, tetapi sungguh amat haru dan bahagia. Hubungan Arini dan Saki semakin erat, akhir tahun 2018 Arini ke Jepang, mengajarkan cara menghidupkan gerakan tari, memberi taksu.
Pembelajar Tiada Akhir
Sejak belia, semangat belajar Arini sunggulah tinggi. Tidak hanya belajar ke sang paman, Arini yang ditemani sang ayah berkelana mencari guru tari Bali terbaik disetiap daerahnya. Beberapa diantaranya seperti Ridet, Jero Puspa, Oka Sading, bahkan Ketut Mario. Kala Arini ingin mempelajari Legong Saba di Gianyar, sang ayah dengan semangat membonceng Arini dengan sepeda gayung. Pesan ayahnya yang paling diingat Arini adalah untuk selalu membagikan ilmu tarinya kepada siapapun.
Arini pernah menjadi bagian dari Listibya diusianya yang ke-30 tahun. Sebagai bagian dari Listibya, Arini menyusuri berbagai desa hingga pelosok Bali, untuk menemukan talenta-talenta di dunia tari Bali. Ia tak pernah berhenti belajar, dalam setiap kunjungannya Arini selalu menemukan hal baru dan itu ia simpan dalam catatannya.
Semangat pantang menyerahnya untuk belajar dan mengabdi menghantarkan Arini meraih predikat maestro tari. “Tiang maan maestro nika uling Jakarta, tahun 2015,” tutur Arini. Mulanya ia sempat ragu diberi anugrah maestro tari dari Jakarta, sebab di Bali ia belum dianugrahi gelar serupa. Arini bercerita tahun 2014, ia menuju Taman Ismail Marzuki untuk menari Condong. Lalu ditahun 2015 ia dengan seniman lainnya dari berbagai daerah diberi anugrah maestro tari.
Ujian yang datang memberinya semangat belajar dan mengajar. Pada tahun 2017, beberapa pejabat dibidang kesenian yang berasal dari pemerintah pusat datang mengecek sanggarnya. Mereka meminta Arini menunjukkan bukti-bukti selama menari dan berkesenian. Seusai mengecek Arini diminta ke Jakarta diuji mengajar tari kepada murid yang secara acak diberikan kepadanya dengan syarat dalam waktu dua minggu seluruh penari harus bisa menari dan siap pentas di Yogyakarta.
Kala maestro lain memilih untuk menari langsung di depan bersama muridnya, Arini tidak. Ia membiarkan muridnya menari dengan leluasa, tanpa contoh dari siapapun. Saat gong selesai mengalun, barulah Arini menaiki panggung. Tak disangka grup yang ia bina mendapatkan peringkat pertama, ia dan murid dua pekannya itu merasa amat bahagia. Arini sukses besar mengajar tari. Bahkan kemunculan Arini diakhir panggung itu pun menjadi ikon Lantip, Lansia Aktif Peduli pada masa itu.
Arini tetap menjalin komunikasi dengan rekan-rekan sesame organisasi Lantip. Melalui grup whatsapp, Arini saling berbagi cerita dengan sesama lansia yang selalu memiliki semangat belajar tinggi. Hingga saat ini Arini selalu bersyukur dan seolah tidak percaya segala kesempatan baik selalu menghampirinya. “Kadang-kadang saya berpikir dan selalu bersyukur sama Tuhan, kok diberikan kesempatan begitu, lalu saya terus bersyukur. Semua itu tidak ada suatu kebetulan. Semua sudah diatur sama beliau. Kita serahkan semua pada beliau,” tutur Arini.
Meskipun raga yang menua membuat Arini terkadang merasa sakit, ditambah lagi semenjak kepergian sang suami, pasangan sekaligus sahabat terbaik dalam hidupnya Gusti Made Alit, Arini terkadang merasa kesepian. Namun, ia tetap melanjutkan hidup dengan penuh semangat. Setiap pagi, ia selalu bersyukur dalam setiap kehidupan di pagi harinya ia menghilangkan sedihnya dan meyakinkan diri jangan sakit, sebab bagi Arini sakit berawal dari pikiran.
Adanya pandemi Covid-19 cukup mmembatasi interaksi Arini dengan murid-muridnya. Namun, sejak level PPKM diturunkan kesempatan untuk mengajar lagi kian terang. Akhirnya, Arini kembali mengajar ke-60 muridnya dengan menerapkan protokol kesehatan yang ketat. Hari-hari senjanya pun tetap Arini habiskan dengan sangat produktif. “Karena kita dibilang harus kreatif ya, selalu memang otak saya, ada komputer, saya catat apa yang saya tahu,” tutur Arini bersemangat. Sehingga ketika segala ide dan materi tercatat, ketika ada mahasiswa yang mengunjunginya untuk bertanya, Arini sudah sangat siap berbagi.
Memberikan Cinta
Arini yang merupakan seniman asli Denpasar, tepatnya Banjar Lebah kali ini turut terlibat dalam Denpasar Festival ke-14, menarikan salah satu ikon topeng dalam konsep Tri Datu Denpasar. Tahun lalu, dirinya bersama sang murid dipercaya menggarap Baris Kekupu. Sebelum mengajar tari kepada murid-muridnya, Arini selalu memberikan kalimat pamungkas. “Saya sehat, saya pintar, saya cerdas. Saya bahagia dengan penuh cinta,” ujar Arini dengan senyum merekah.
Setiap muridnya harus ditanamkan kebahagiaan. Memulai menari harus dengan berdoa terlebih dahulu. Arini tidak pernah menjatuhkan semangat murid-muridnya, ketika ada gerakan tari yang salah, Arini tidak mengatakan itu jelek. Ia akan memperbaiki dan berkata, “Saya dimana-mana bilang, halo cantik-cantik sekali, sudah bisa menari? Ayo belajar nari dulu. Ini dibenerin dulu.”
Tak terasa, obrolan senja itu hingga matahari dijemput sang malam. Harapan Arini yang sederhana menutup pembicaraan. “Harapan saya yaitu agar anak-anak selalu diberi cinta, dengan penuh cinta dia akan berkreasi,” tutur Arini lembut.
Leave a Reply
Want to join the discussion?Feel free to contribute!