Tri Datu bukanlah istilah yang asing untuk diserap kelima indra manusia Bali. Tri Datu justru kian lumrah terpatri di memori maupun keseharian masyarakat Bali hingga luar Bali. Memaknai istilah Tri Datu menjadi salah satu semangat Denpasar Festival (DenFest) tahun 2021 dalam mewujudkan kemenangan harapan dalam kehidupan masyarakat di Kota Denpasar.
Mulanya pasti ada saja yang bertanya, apa hubungan Tri Datu dalam kontekstualisasi kehidupan manusia? Dan mungkin saja ada yang bertanya apa hubungannya dengan Denpasar Festival (DenFest) tahun 2021?
Kebanyakan orang menganggap bahwa Tri Datu merupakan benang dengan tiga warna yaitu merah, hitam, dan putih. Menggunakan benang Tri Datu sudah menjadi hal yang karib bagi masyarakat Hindu di Bali. Tak hanya umat Hindu di Bali, tak sedikit pula umat non-Hindu mengenakan benang Tri Datu dengan alasan tersendiri.
Namun, yang jelas hal ini tidak dapat terlepas dari masifnya promosi pariwisata di masa lalu yang turut diiringi dengan penjualan aksesoris berbau keagamaan. Apakah hal tersebut merupakan bentuk kreativitas beragama, dalam heterogenitasnya zaman? Belum ada jawaban yang pasti.
Terlepas dari benang atau gelang Tri Datu yang kian populer di berbagai kalangan, hal esensial yang patut terjawab adalah apa sejatinya makna dari Tri Datu. Proses memaknai Tri Datu sangat erat korelasinya dengan filosofi ajaran agama Hindu. Secara etomologi, Tri Datu berasal dari kata Tri dan Datu. Tri berarti tiga, dan Datu berarti raja / Dhatu yang berarti elemen warna. Sehingga Tri Datu dapat berarti Tiga Raja yaitu tiga dewa utama dalam Hindu.
Tiga dewa yang dimaksud adalah Dewa Tri Murti, yakni Dewa Brahma sebagai sang pencipta dengan aksara Ang, Dewa Wisnu sebagai sang pemelihara dengan aksara Ung dan Dewa Siwa sebagai sang pelebur dengan aksara Mang. Ketiga aksara tersebut apabila menyatu menjadi aksara AUM, bila diucapkan menjadi OM. Aksara OM merupakan aksara suci umat Hindu serta memiliki nilai magis yang luar biasa sebagai simbol dari Ida Sang Hyang Widhi Wasa.
Eksistensi pemakaian Tri Datu hingga kini, sejalan dengan panjangnya alur sejarah awal mula pemakaiannya di Bali. Pada abad ke-14 hingga ke-15, tatkala Dalem Watu Renggong memegang tampuk kerajaan di Bali, adalah awal dari pemakaian Tri Datu. Sewaktu Dalem Watu Renggong menaklukkan Dalem Bungkut atau Nusa oleh Patih Jelantik, telah terjadi kesepakatan anatara Dalem Bungkut / Nusa dengan Dalem Bali bahwa kekuasaan Nusa diserahkan kepada Dalem Bali begitu pula rencang dan ancangan Beliau (Ratu Gede Macaling) dengan satu perjanjian akan selalu melindungi umat Hindu / masyarakat Bali yang bakti dan taat kepada Tuhan dan leluhur.
Sedangkan mereka yang lalai akan dihukum oleh pararencang Ratu Gede Macaling. Bila saat beliau akan melakukan tugasnya maka Kulkul Pajenanengan yang kini disimpan dan disungsung di Puri Agung Klungkung, jika berbunyi maka sebagai pertanda akan ada malapetaka atau wabah. Oleh karena itu, agar dapat membedakan masyarakat yang bakti dengan tidak, ditandai dengan pemakaian benang Tri Datu. Hingga saat ini sejalan dengan khasnya orang Hindu di Bali, maka benang Tri Datu merupakan amat identik sebagai identitas semeton Hindu Bali yang tidak tergantikan oleh apapun karena selalu dilindungi oleh aura kedewataan.
Zaman berganti, begitu pula dengan pemimpinnya. Namun, benang tiga warna ini tetap abadi digunakan sebagai gelang, hingga segala bentuk perlindungan lainnya yang diyakini memiliki kekuatan Tuhan bagi penggunanya. Benang ini banyak mengandung nilai dan makna diantaranya, sebagai perwujudan tiga dewa utama dalam Agama Hindu. Benang ini pun diyakini sebagai simbol keseimbangan, dan manunggal. Tri Datu adalah simbol. Peradaban manusia memang tak dapat terlepas dari simbol-simbol.
Alhasil dalam koridor simbol itu, maka manusia disebut Homo simbolicum, yang selalu bersentuhan dengan simbol-simbol, akan kerap hadir dalam kehidupan sehari-hari. Manusia Bali akrab dengan simbol. Keberadaan simbol ini menyentuh ke setiap aspek kehidupan manusia Bali utamanya dalam ritual maupun adat istiadatnya. Lahirnya simbol tidak terlepas dari kegelisahan manusia untuk memaknai diri dalam alam semesta yang luas. Meskipun terkungkung dalam keterbatasan analisisnya, justru menjadi sarana manusia untuk berfilsafat, memaknai segala yang ada di semesta dengan simbol-simbol. Fenomena yang terjadi di masa kini, simbol-simbol buah pemikiran masa lampau, menjadi daya hayat penciptaan karya baru, salah satunya karya seni budaya.
Simbol, rasa, dan seni ibarat proses fotosintesis. Simbol yang tercipta dihayati dengan rasa, ibarat matahari dan unsur hara yang membantu seni tumbuh dan berkembang. Denpasar Festival tahun ini mengupayakan pemaknaan Tri Datu sebagai pemuliaan jalinan kehidupan, agar seni termasuk aspek kehidupan lainnya mampu membangkitkan semangat kreatif dengan karya-karya inovasi terbaik, serta pelaksanaan kegiatan festival yang aman dan sehat di masa pandemi Covid-19 melalui konsepsi kegiatan yang tersebar (desentralisasi) pada ruang-ruang ekspresi yang ada di Kota Denpasar. Arsa Wijaya, Kemenangan Harapan adalah tema yang menjiwai kelahiran kembali Denpasar Festival tahun ini digambarkan dengan tokoh topeng Arsa Wijaya. Kehadiran topeng Arsa Wijaya tidak sendirian, memaknai simbol Tri Datu, dua topeng lainnya turut mengiringi Arsa Wijaya, mewujudkan kemenangan harapan.
Bentang jalinan Tri Datu dalam Denpasar Festival adalah simbol dari kemenangan harapan yang menuntun masyarakat Kota Denpasar, khususnya seniman dari berbagai bentuk seni tradisi maupun modern, Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) untuk tetap bangkit di tengah keadaan yang sulit. Bagaimanakah wujud estetika dari memaknai Tri Datu dalam Denpasar Festival? Semua akan terjawab pada pembukaan DenFest yang teguh memuliakan jalinan kehidupan Kota Denpasar, dan dengan segala ciri khasnya, ia (Denpasar-red) selalu dirindukan dan dinantikan.
Leave a Reply
Want to join the discussion?Feel free to contribute!