Ternyata di Kota Denpasar melimpah kerajinan khas warisan budaya lokal. Di Banjar Binoh Kaja, Desa Ubung Kaja, misalnya. Sejak zaman penjajahan Belanda di Denpasar pada tahun 1906, masyarakat Banjar Binoh Kaja sudah menekuni profesi sebagai perajin gerabah. Hal inilah yang ingin dibagikan dalam lomba melukis gerabah dan workshop tanah liat pada Denfest hari keempat (24/12).
Namun, itu adalah masa kejayaan saat dulu. Dewi Estede, generasi muda kelahiran Banjar Binoh Kaja mengakui sulitnya regenerasi perajin lokal gerabah di desanya. Neneknya ialah salah satu perajin gerabah di Binoh. Memang sebagian besar perajin di Binoh Kaja ialah perempuan dengan umur yang relatif tua. Mereka biasanya mengambil tanah dari halaman belakang ruma dan diubah menjadi berbagai kerajinan gerabah, seperti payuk, gebeh, coblong, paso, jeding, dan lainnya. “Dulu Binoh pernah jaya sebagai produsen gerabah terbesar di Kota Denpasar. Lalu, produksi gerabah disuplai untuk ke Pasar Payuk sebelum sekarang menjadi Pasar Badung,” ujar perempuan yang menjadi pendiri Membumi Project. Berawal dari misi regenerasi perajin gerabah, ia pun menginisiasi inovasi produk melalui Membumi Project, sebuah usaha sosial dengan jargon #marimaintanah. Lebih mendalam, Dewi memaknai tanah dapat menjadi medium terapi untuk pemulihan kesehatan raga dan jiwa. “Terutama bagi tumbuh kembang anak-anak. Selain itu, ini juga berguna untuk mendistraksi kebiasaan bermain gadget pada anak-anak,” papar Dewi.
Membumi Project dengan segala manfaat yang ditawarkan pun hadir mengisi program acara Lomba Melukis Gerabah dan Workshop Tanah Liat di Wantilan Inna Heritage Hotel. Sedari pagi dimulai pukul 08.00 WITA, acara yang dilaksanakan di Wantilan Inna Heritage itu mengundang partisipasi dari anak-anak SD. Mereka saling beradu kebolehan dalam melukis gerabah. Selanjutnya, lebih ramai, workshop tanah liat pun dipenuhi oleh orang tua dan anak-anaknya. “Partisipasinya luar biasa bahkan sampai ada waiting list. Yang mendaftar ada 100 orang. Jadi 60an mendaftar lomba melukis, dan sisanya adalah workshop tanah liat. Kita membagi menjadi dua sesi, yakni 20 orang persesi,” ungkap Dewi. Antusiasme tersebut membuat Dewi semakin optimis ingin membangun kembali industri gerabah di Kota Denpasar. “Kita mengadakan workshop ini untuk transfer pengetahuan bagi generasi muda,” tambahnya.
Salah satu orang tua dari partisipan anak-anak, Anak Agung Witara Sagamora mengungkapkan keseruan keluarganya mengikuti workshop tanah liat. “Seru, ini jadi pilihan aktivitas alternatif di musim liburan. Selain itu, melatih daya imajinasi, konsentrasi, dan kesabaran pada anak,” ujarnya sambil menemani anaknya membuat kerajinan dari tanah liat.
Semakin meriah, di sore hari pada kawasan Catur Muka, ada penampilan Barong Sai yang telah dinantikan pengunjung. Menunggu rintik hujan reda, Barong Sai beraksi pukul 18.30 WITA. Penampilan Barong Sai dipersembahkan oleh Konco Dwipayana Tanah Kilap dan melibatkan setidaknya 25 orang. Anak Agung Sagung Istri Utami selaku koordinator mengaku pengalaman tampilnya di Denpasar Festival ke-15 sangatlah berkesan. “Kita berangkat ke sini sudah diguyur hujan badai. Syukur sampai di sini sudah reda. Penonton luar biasa kita ditunggu dari sebelum pentas,” ujarnya seraya tersenyum selepas tampil. Sebagai komunitas pencetus Barong Sai di Bali, ia berharap Denpasar Festival dapat lebih meriah dan dapat memberikan lebih banyak kesempatan tampil bagi berbagai kesenian yang ada di Bali.
Leave a Reply
Want to join the discussion?Feel free to contribute!