
I Made Wardana dan Perkumpulan Nak Nik Pegok saat menampilkan perpaduan kesenian Genggong dan Gamelan Mulut dalam Lokakarya Genggong, Denpasar Festival ke-14
Keunikan kesenian Genggong yang sempat layu, perlahan-lahan hidup kembali. Nadi kesenian Genggong hidup pula di Pegok, Denpasar Selatan yang kali ini diperkenalkan kembali dalam Lokakarya Genggong yang diadakan Denpasar Festival ke-14 pada Minggu (12/12)
“Tew, tew, tew” gema suara Genggong memenuhi Wantilan Desa Adat Poh Gading, Denpasar Utara. Lelaki yang memainkan Genggong itu bernama I Made Wardana S.Sn alias I Made ‘Agus’ Wardana. Dirinya yang didaulat sebagai pembicara dalam Lokakarya Genggong sebagai rangkaian Denpasar Festival (Denfest) ke-14. “Sekarang melakukan pengembangan, tidak hanya menggali gending tradisi tetapi menyesuaikan juga dengan situasi terkini bersama adik-adik generasi muda,” tutur Wardana.

Bli Ciatt, sapaan Wardana di kanal Youtubenya, tengah memperagakan cara memainkan Genggong
Genggong adalah alat musik khas Bali yang terbuat dari bambu dengan ukuran panjang 18-20 cm dan lebar 1,5-2 cm memiliki bunyi yang khas dan unik. Cara memainkannya dengan menempelkan genggong pada bibir, sambil menggetarkan melalui tarikan tali (tekhnik ngedet) serta menggunakan metode resonansi tenggorokan untuk menghasilkan nada. Wardana mengungkapkan, mulanya bahan dasar Genggong adalah pelepah pohon enau/ pug-pug. “Karena sekarang sulit mencari pug-pug, maka akhirnya pakai bambu,” ujar lelaki yang juga disapa Bli Ciatt dalam oleh pemirsa daring di kanal Youtube-nya.
Kesenian Genggong di Denpasar pertama kali hidup berkat I Ketut Regen (Qakdanjur/Kakek Danjur) pada tahun 1930-an. Kala itu usia Regen yang masih muda berhasil memikat masyarakat Pegok, Denpasar Selatan untuk menikmati dan memainkan kesenian Genggong. Sayangnya seiring perkembangan zaman, Genggong pun perlahan meredup dan terlupakan. Inisiatif untuk menghidupkan kembali kesenian Genggong hadir pada tahun 2019 dalam agenda seni Pesta Kesenian Bali (PKB). Kala itu, Wardana dan segenap anggota Sanggar Qak Danjur menampilkan beberapa materi yang diantaranya
- Rekonstruksi, menampilkan kembali gending kuno dan asli. (Capung Gantung, Pusuh Kadut, Bungkak Sari, Dongkang menek biu, Kidange Nongklang Crucuke Punyah, Langsing Tuban)
- Rekoneksi mengkaitkan kembali dengan instrumen Geguntangan berupa Suling, Kendang, Cengceng , Gong Pulu serta perpaduan biola dan cello untuk menawarkan nuansa lebih bervariasi. (Kedis Ngindang – Paris 2015, Shiwi – Brussel 2009)
- Re-Inovasi, mencuatkan sebuah Fragmentari Komedi “Ampuang Angin”yang diiringi dengan Genggong dan Gamut (Gamelan Mulut). Fragmentari Komedi ini mengisahkan sebuah cerita perjalanan budaya 4 orang bersaudara yang bernama Iciaaattt, Iciuuuttt, Icueeettt dan Nicuiiittt menuju negeri seberang (Gumin Anake).

Para peserta Lokakarya Genggong menyimak dengan seksama penjelasan materi tentang kesenian Genggong dan Gamelan Mulut
Lokakarya yang dihadiri oleh 50 orang warga Desa Poh Gading hingga para seniman ini pun turut menampilkan secara langsung instrumen kesenian Genggong. Wardana ditemani oleh enam orang anak laki-laki, memainkan Genggong yang bergabung dalam Perkumpulan Nak Nik Pegok. Wardana menjelaskan hingga saat ini Perkumpulan Nak Nik Pegok berjumlah 15-an orang.
“Saat ini kami masih terus menggali yang berminat melestarikan Genggong. Terus terang kita susah mencari,” ungkap Wardana. Bagi Wardana kondisi tersebut tidak lepas dari adanya kemajuan zaman dan minat anak muda yang sudah bergeser ke seni modern. Namun, hal itu tidak membatasi Wardana segenap pelestari kesenian Genggong untuk terus memperkenalkan Genggong diseluruh daerah, nasional, hingga kancah internasional.
Wardana yang 22 tahun tinggal di Eropa sebagai Staf Kedutaan Besar di Indonesia yang membidangi Penerangan Sosial Budaya, memperkenalkan Gamelan Genggong dengan penuh cinta. Belgia yang merupakan jantung, bagian tengah-tengah Eropa menjadi pusat hidupnya Genggong dan inovasi Wardana untuk mencipta Gamut (Gamelan Mulut) tahun 2009. Menurut Wardana di beberapa belahan dunia lainnya alat musik sejenis Genggong ini sering disebut Jew’s harp atau mouthharp (Barat), drumbla (Slowakia), khomus (Siberia), morchang (Rajasthan), karinding (Jawa Barat), dan kuriding (Kalimantan Selatan).

Salah satu anggota Perkumpulan Nak Nik Pegok memperagakan cara memainkan Genggong
Menurut I Gusti Ngurah Murthana, S.T selaku Koordinator Acara pentas seni dibidang Karawtitan di Denpasar Festival bahwa persiapan Lokakarya Genggong amat terbantu oleh para pihak Desa Adat Poh Gading, seperti bendesa, hingga pecalang. Sehingga langkah Denfest dengan konsep Catur Desa dan melibatkan Desa Adat sangatlah tepat.
Sebagai penutup, melalui Lokakarya Genggong ini Wardana berharap agar anak muda mengetahui dan mengenal gamelan Genggong dan Gamut. Dari kedua proses awal tersebut, agar ada motivasi anak muda untuk mempelajari dan melestarikan kedua kesenian ini khususnya Kesenian Genggong. Wardana juga berharap agar kegiatan seperti ini terus berlangsung. “Supaya kita bisa berlanjut dengan prokes dan supaya anak muda kita tidak dijejali dengan hal-hal negatif, serta dimasa yang sulit agar selalu berkreasi,” tutup Wardana dengan senyuman.
Leave a Reply
Want to join the discussion?Feel free to contribute!