Hampir seharian Kota Denpasar diguyur hujan pada Jumat (23/12). Meski demikian, pengunjung tidak surut datang ke Denpasar Festival ke-15 pada hari ketiga. Terlebih, adanya pemutaran film Denpasar Sineas Festival seolah menyuguhkan kehangatan di tengah malam yang dingin. Di sisi lain, ada pula penampilan musik di Lapangan Puputan Badung yang harus pindah ke Gedung Dharma Negara Alaya karena faktor keselamatan bersama.
Memasuki tahun kedua pelaksanaan, Denpasar Sineas Festival merupakan gelaran kreatif perfilman yang dilaksanakan sebagai salah satu program acara di Denpasar Festival. Berisi dengan penayangan film serta talkshow, Denpasar Sineas Festival berupaya mengakomodir dan mendukung geliat karya kreatif para pembuat film (sineas) berbakat dan memberikan ruang kepada masyarakat dalam menikmati karya-karya film yang telah dihimpun. Menurut penjelasan A.A. Ngr Bagus Kesuma Yudha, selaku Koordinator Denpasar Sineas Festival, terdapat 50 film yang berhasil terhimpun dari seluruh Indonesia untuk ditayangkan di Wantilan Inna Heritage Hotel, Denpasar. “Tahun inin Denpasar Sineas Festival cukup berbeda dengan tahun lalu karena tahun ini terpusatnya di Gajah Mada. Dari sega tema juga sekarang kita lebih bebas, sehingga kita bisa menjaring submit film sebanyak 50 dari seluruh indonesia. Jadi ada tiga kategori, dokumenter, fiksi, dan animasi akhirnya memeriahkan Denpasar Sineas Festival ini dengan 44 film yang terkurasi,” terang pria yang karib disapa Gung Yudha itu.
Pemutaran film pun dimulai pukul 19.00 WITA dengan menayangkan lima film, yakni Meburu, Warisan Cita Rasa Bali – Bali, Rahayu, Loloh Cem-Cem, dan Pulau Plastik. Pada saat pemutaran film Meburu, terlihat kursi penonton dipenuhi oleh para pengunjung yang bertandang ke Denpasar Festival. Sembari menikmati makanan masing-masing, mereka menonton film yang berdurasi satu jam tersebut. Film Meburu merupakan sebuah film dokumenter budaya kolaborasi kampus IDB Bali dengan Desa Adat Panjer yang membingkai tradisi Meburu khas Desa Adat Panjer. Lebih lanjut, tradisi ini dirayakan satu tahun sekali tepat sehari sebelum nyepi atau saat Tawur Agung Kesanga bersamaan dengan dilakukannya pawai ogoh-ogoh. Ritual ini memperlihatkan beberapa pemangku yang terpilih sebagai medium penghubung Roh kemudian melakukan perburuan. ‘Mereka’ akan berlari mencari Caru (sesajen) ke arah Pura Tegal Penangsaran dan berakhir pada proses Nyomya atau melebur ke alam masing-masing.
Bagi Gung Yudha, film-film yang terkurasi pun difokuskan kepada kedalaman cerita. “Jadi tidak melulu karena standar teknis. Bahkan, ada juga film-film dari pelajar yang masuk ke program acara Denpasar Sineas Festival,” imbuhnya. Pemutaran film yang dilaksanakan pada wantilan terbuka menemukan tantangannya tersendiri, apalagi segmen penonton yang lebih acak. Ini pun meberikan wawasan dan pengalaman baru bagi para pelaksana. “Kita lihat beberapa audiens itu suka genre seperti apa. Film yang awalnya disangka ramai ternyata nggak, kemudian ada juga film yang disangka tidak ramai ternyata ramai. Contohnya, film Meburu, film ini menggunakan Bahasa Bali halus, sedikit Bahasa Indonesia dan Inggris. Ternyata tadi banyak yang masih mau stay melihat film itu dari awal sampai akhir mungkin ada kedekatan secara sosiologisnya maupun geografisnya,” tambah Gung Yudha. Meski demikian, Denpasar Sineas Festival menambah variasi kegiatan pengunjung Denpasar Festival.
Acara pemutaran film pun berlanjut dengan Talkshow bersama praktisi dunia audiovisual. Kali ini ada Talkshow “Menjadi Eksis Nan Lucu di Medsos? Kenapa Engga?” yang menghadirkan Itakimo dengan dipandu oleh moderator Arya Pinatih. Itakimo yang kerap menggarap konten komedi pun menunjukkan kelucuannya selama keberlangsungan Talkshow dan mengundang gelak tawa dari penonton. Talkshow membahas tentang dibalik layar pembuatan konten dari @itakimo_bali. Itakimo Bali yang terdiri dari Eka Kadalora alias Kadal, I Wayan Ivan Wahyu Praditya, I Ketut Roja Sudarsana, dan Budi Astawa mencaritakan bahwa mereka wajib mengirimkan masing-masing Dua ide untuk dibahas dalam satu minggu. Setelah itu, ide-ide tersebut akan dikemas dalam tiga konten per minggu.
Berpindah ke panggung musik Lapangan Puputan Badung, terdapat penampilan musik dari Sekolah Musik Sangaji, Balawan Music Training Cantre, Dunky, Psychomachine, Pherona, Super Soda, Bali Guitar Mob, GAG, Hydra, Triple X, dan Navicula. Namun, karena hujan melanda tanpa jeda, penampilan musik pun dipindah ke Gedung Dharma Negara Alaya keesokan harinya pada Sabtu (24/12). Gusti Bagus Wisatawan atau yang akrab disapa Wis, gitaris Hydra dan Vlaminora mengaku pementasan Bali Guitar Mob ini melibatkan sebanyak 30 orang gitaris berbakat di Bali. “Pertama kali saya dan teman-teman dimandatkan untuk pelaksanaan Bali Guitar Mob, langsung terbit ide mementaskan gitar kolosal di Bali. Tapi mengedepankan gitaris muda tanpa meninggalkan gitaris yang senior juga,” ujar koordinator pementasan Bali Guitar Mob itu. Keterlibatan 30 orang tersebut ialah berasal dari komunitas organik yang terbentuk dari aktivitas kreatif dunia musik di Bali. Adapun bassist band Hydra yang juga menjadi penata musik Bali Guitar Mob mengatakan penampilan mereka kali ini menghadirkan genre musik rock. “Genrenya menyesuaikan gitaris yang terlibat kebanyakan gitaris rock. Jadi kita mengcover tiga lagu rock,” ujar Zio. Adanya Guitar Mob ini diharapkan oleh Wis dapat menjadi awal soludaritas komunitas gitar di Bali. “Kita ingin kita bisa lebih solid. Jadi nanti bisa berkarya bareng-bareng.” tutup Wis berharap.
Leave a Reply
Want to join the discussion?Feel free to contribute!