Kesenian Bebalihan di Pura Agung Petilan (Pengerebongan), Desa Adat Kesiman, mengawali pementasannya dengan nuansa magis. Ada tari Baris Wayang, warisan budaya tak benda asli Denpasar yang menjadi pembuka. Suasana hiburan juga riuh saat Joged menutup hari pertama kemeriahan Denfest di Denpasar Timur itu.
Malam itu (16/12), Anak Agung Ngurah Lanang, salah satu penari muda Tari Baris Wayang, nampak gugup. Kendatipun bila ditanya kepada teman-temannya ia adalah paling ‘jago’ menari, inilah kali pertama laki-laki yang karib disapa Gung Wah itu mempersembahkan penampilannya di Denpasar Festival. “Baru sekarang ini ikut Denfest. Deg-degan,” kata Gung Wah yang baru duduk di bangku keas 2 SMP sebelum tampil. Benar saja, rasa gugupnya muncul lantaran Gung Wah tampil paling depan kala Tari Baris Wayang ditampilkan pada kesenian bebalihan di Wantilan Pura Agung Kesiman Pentilan bersama 7 penari baris wayang lainnya.
Gung Wah mewakili persembahan pementasan kesenian dari Pasraman Prabha Budaya, Br. Lumintang, Desa Dauh Puri Kaja, Kecamatan Denpasar Utara. Suasana terasa mendadak magis saat tari baris wayang menjadi pembuka. “Panji medal, kori menga, dendulurin. Tindak tanduk tindakne dentanjekin. Mentek mencar, undur sempyar, ban menyilih…” sebuah tembang pengiring tarian menjadi awalan dilantunkan oleh dua gadis di yang duduk di pojok kanan panggung. Kalimat di atas seyogyanya tidak diiartikan karena sudah mengundang kekuatan sudamala yang luar biasa. Hal tersebut diungkapkan oleh Penglingsir Jero Lanang Tegeh Lemintang, setelah melakukan kontemplasi di Pura Taman Beji Dalem Silamintang. Kekuatan lantunan kidung sudamala tersebut mengawali ‘metanginya’ baris wayang. Maka, metangilah baris wayang itu di wantilan Pura Agung Pentilan. Memang, biasanya tarian tersebut menjadi tari wali saat upacara Dewa Yadnya. Tak heran, Gung Wah pun mengaku sering ngayah menari di pura. “Iya di pura-pura seing ngayah nari,” ujarnya seraya tersenyum.
Penampilannya telah dipersiapkan kurang lebih selama satu bulan. Anak Agung Sagung Oka Indra Parwati, selaku salah satu pengurus Pasraman Prabha Budaya mengungkapkan bahwa regenerasi penari Baris Wayang tidak mengalami kesulitan. “Karena sudah ditetapkan sebagai warisan budaya tak benda, anak-anak dan orang tua sangat antusias mempelajarinya. Kami bangga,” terangnya. Persiapan pun dilakukan selama kurang lebih satu bulan. Uniknya, tari Baris Wayang juga harus metembang selama pementasan. “Bukan diiringi, mereka yang langsung matembang,” lanjut perempuan yang akrab disapa Gung Oka itu.
Selain tari Baris Wayang, ada pula tari Baris Bala Samar yang tak kalah magis. Garapan sanggar Hung Bali ini menceritakan tentang pasukan dan samar yang berarti tidak terlihat. Mengambil latar tempat di Sungai Ayung, konon diceritakan kerajaan wong samar yang tersohor di jagat para makhluk alus, dengan bala pasukan yang amat sakti. Tarian ini di sisi lain mengangkat keseimbagan Palemahan (Alam Jagat Raya) dalam konsep Tri Hitakarana sebagai kepercayaan manusia Bali untuk menjaga dan mengkonservasi wilayah yang bersifat “Tenget”. Lebih lanjut, terdapat pula persembahan kesenian bebalihan lainnya dari Yowana Kesiman, Joged Gita Semara Ratih Penatih, Tari Jauk Longor dan Tari Baris Mala dari Sanggar Hung Bali. Bebalihan kian meriah sebab dipandu oleh pelawak Bali Codet dan Gek Kinclong. “Sampun vaksin niki? Sampun?” ujar Codet membuka acara yang disambut gelak tawa para penonton.
Adapun sejak 18.35 WITA, Wali Kota Denpasar, I Gusti Ngurah Jaya Negara bertandang ke Pura Agung Pentilan. Ia langsung mengunjungi salah satu stand UMKM di sana. Ialah Insting Coffee yang menjadi tujuan Jaya Negara. “Biar pernah mencoba wedang-nya anak muda,” katanya seraya menyeruput segelas kopi. Adapun Bendesa Adat Kesiman, Ketut Wisna, S.T., MM., mengungkapkan persiapannya mendukung perhelatan Denpasar Festival ke-14. “Parahyangan kami juga nunas ica dari pemangku di sini dari pura Petilan, kemudian kami megerahkan pecalang, dari yowana adat juga berpartipasi dalam bebalihan ini.” Jelasnya. Ia pun sangat mendukung konsep Nyatur Desa sebagai upaya beradaptasi di tengah pandemi agar tetap bangkit.
Lokakarya Baris Wayang: Pentingnya Revitalisasi Budaya
Tidak kesenian bebalihan, di Kesiman juga menghadirkan Lokakarya Baris Wayang yang diisi oleh Budayawan Bali, I Gede Anom Ranuara (Guru Anom). Awalnya, Lokakarya Baris Wayang akan diisi oleh Ngurah Bagus Supartama, S.Sn., M.Si., namun karena alasan kesehatan, ia tidak dapat hadir. Adapun dijelaskan dalam lokakarya, tari Baris Wayang merupakan tari wali yang ditarikan pada saat upacara Dewa Yadnya tingkat madya dan utama di kawasan Lemintang. Hal ikhwal terbentuknya tari Baris Wayang ketika terjadinya perjanjain antara Sira Arya Notor Wandira dengan Ki Buyut Lemintang (Penglingsir Desa Lemintang dahulu), apabila Sira Arya Notor Wandira mampu menjadi raja di Badung (Denpasar sekarang) akan mempersembahkan putra mahkota serta kesenian wali dalam bentuk sanghyang yakni tari baris wayang/proses mewayang wayang. Tarian ini membawakan wayang dengan menggunakan tembang magis dengan iringannya yang mengandung makna pengruwatan. “Taris baris bisa juga disebut formasi. Ketika dia ada formasi, baris, besar berbanjar. Formasi perlindungan, melindungi,” ujar Guru Anom. Penyebutan Baris Wayang lantaran sang penari baris membawa properti wayang. Secara historis, menurut Guru Anom, kemunculan tari baris bermula ketika Dewa Indra mampu mengalahkan Raksasa Maya Denawa sehingga dewa-dewi merayakan dengan menarikan bebarisan. “Jadi tari Baris sudah ada sejak jaman Usada Bali, jaman Prasasti Payapangus, Prasasti Bebetin,” tambahnya.
Anom juga menyampaikan bahwa terdapat kabar yang menggembirakan terkait Baris Wayang, yakni tarian ini telah ditetapkan sebagai Warisan Budaya Tak Benda Indonesia pada 2019 lali. Sempat vakum, Ngurah Bagus Supartama, S.Sn., M.Si., diceritakan oleh Guru Anom berupaya untuk mengaktifkan kembali tarian hingga akhirnya dapat eksis untuk ditarikan. Pada tahun 2000 bertepatan dengan karya agung Di Pura Dalem Manik Penataran Agung Lemintang, Baris wayang mulai direkontruksi dan di bangkitkan kembali oleh Supartama. Pada umumnya wayang dimainkan oleh seorang Dalang, dan cara memainkannya menggunakan media kain putih yang disebut dengan kelir. Namun, pada hal ini didalam pementasan Tari Baris Wayang, boneka wayang yang biasanya dimainkan oleh dalang diatas kelir, justru digunakan oleh para penari baris sebagai properti dan sarana dalam tarian tersebut.
Leave a Reply
Want to join the discussion?Feel free to contribute!