Gemerlap cahaya di panggung hiburan Denfest ke-14, Muntig Siokan, pada Rabu (22/12) itu menjadi saksi; skena musik Denpasar dapat ditata kembali. Para musisi tak surut berkarya, demikian pula para penikmatnya datang paling gegap gempita. Terselip harapan ruang-ruang musik terus ada, Denpasar Festival salah satunya.
Dedikasi untuk menjaga dan menata kembali skena musik di Denpasar itu salah satunya ditunjukkan band Navicula. Selepas penampilannya, Robi, vokalis Navicula bercerita ia baru saja mendarat ke Denpasar dari Sumba untuk pentas di Denfest ke-14. “Band ini grow up di Denpasar kan, tumbuh di Denpasar, kalau tidak dijaga oleh Denpasar mungkin tidak bisa sampai sekarang berkiprah juga,” ujar Robi seraya menyeka keringatnya. Tidak hanya Navicula, ada pula penampilan band-band lokal Bali: K-Nine, Zhaga, Morelia, Svami, Harmonia, The White Swan, Dialog Dini Hari, dan Scared of Bums.
Baginya, penampilan di Denpasar Festival saat itu sangat berharga. Apalagi, Navicula menjadi band yang bermusik di Bali sejak tahun 1996. “Artinya kita sekarang 25 tahun, tumbuh, kita tidak mungkin melupakan kota di mana kita tumbuh, nah itulah pasti ya Denpasar, yang pasti support. Walaupun kami semua ini belum mandi ini dari kemarin,” tambahnya seraya tertawa. Baginya, aktivitas kreatif pantang mandeg bagi Navicula. Di tahun 2021, Navicula merilis sebuah single yang bertajuk “Dinasti Matahari”. Berlokasi di Sumba, penggarapan video klip itu pun meliput seluruh suku-suku di Nusantara. “Kemarin di nusa-nya kita cari kebudayaan nusantara marapu dan ampas gula,” ucap Robi.
Tidak kalah seperti para musisi, penikmat musik juga terlihat antusias dengan para pengisi acara panggung hiburan dan UMKM Denfest ke-14 hari itu. Banyak diantaranya maju hingga ke dekat panggung untuk turut bernyanyi dan menikmati musik yang mengalun. Robi dengan wajah yang sumringah sangat mengapresiasi antusiasme apra pangunjung Denpasar Festival ke-14. “Wih. keren banget ya, mungkin karena juga selama hampir dua tahun orang pasti kangen panggung,” ujarnya.
Di sisi lain, antusiasme pengunjung ini menjadi sebuah harapan untuk menata kembali skena musik di Denpasar bagi White Swan band. Hal ini diungkapkan oleh Maha Wahyu, penggebuk drum The White Swan. “Saya pernah baca di salah satu artikel bahwa ekosistem musik indie itu yang di Bali, Denpasar khususnya, lagi di keadaan di bawah banget,” ucapnya kala dijumpai sebelum tampil. Ada banyak penyebabnya, produksi, hingga penonton. Terlebih di tengah pandemi, menambah tantangan bagi musik indie seperti jalan bermusik yang dilakoni The White Swan. Sugeng Wisnu, sang vokalis mengungkapkan bahwa di tengah kiprah band indie di Denpasar, penting adanya dukungan ruang-ruang musik agar skena musik di Denpasar dapat kian beragam. “Bisa dapat jatah dan wadah sebagai anak seni di mana kami mendapat apresiasi. Itu sih yang membuat kami menjadi lebih terbuka lagi pikirannya. Event-event seperti ini memang harus ada,” ungkapnya.
Tidak kalah menarik, The White Swan yang merupakan band asli Denpasar itu berencana merilis album keduanya. Meski tergolong band baru, The White Swan mengharapkan band-band lain, khususnya indie, dapat diberikan ruang bermusik yang lebih banyak. Hal ini menjadi jalan agar geliat musik di Denpasar dapat terus tumbuh dan melahirkan musisi-musisi baru. “Harapannya agar lebih dikasi ruang ya buat (band) yang baru-baru, kita berkembang bersama-sama lah untuk Denpasar dan Bali.” Tutup Sugeng. Suasana panggung hiburan dan UMKM di Muntig Siokan itu pun kian malam kian meriah. Skena musik Denpasar yang melihatkan interaksi antara musisi dan penikmat musik itu seolah mendapatkan kembali harapan-haparannya untuk bangkit kembali.
Leave a Reply
Want to join the discussion?Feel free to contribute!