Denpasar Festival ke-14 kini menyasar Taman Inspirasi Muntig Siokan, Mertasari pada Senin (20/12). Selain menjadi momentum berkumpulnya para musisi, Denfest turut menjadi ruang peningkatan kecintaan masyarakat terhadap kain tradisional.
Berhelat di pesisir Pantai Mertasari, Denfest hari ke-11 dimulai pukul 17.35 WITA dengan menghadirkan berbagai penampilan musik dan puluhan stand UMKM. Penampilan peragaan busana yang menampilkan koleksi teranyar beberapa desainer hingga butik busana kenamaan seperti Rhea Cempaka, Anacaraka, dan Jero Puspa. Lenggak-lenggok para model yang berasal dari LV CnC Management kian menyemarakkan Fashion Festival Denpasar sebagai bagian dari perhelatan Denfest malam itu. Pembuka manis datang dari Nadia Nevita mulai menyenandungkan tiga buah lagu. Tidak sendiri, beberapa musisi lain turut menampilkan karyanya seperti Crazy Horse, Pak De Alot, Stradic yang merupakan Juara II D’Youth Festival, Melyananda Putu, Sunary Rockers, Setiyaki Project, Gecko, Made Mawut, Summerday of Sunday, dan Hanamura.
Disisi lain, geliat penampilan model di atas panggung berhasil memukau penonton. Busana yang digunakan para model mengusung konsep khas kota Denpasar dengan material dari kain endek. Selain itu, terdapat beberapa model yang mengenakan busana dengan pola seni lukis yang unik. Ida Ayu Harmaita selaku Founder Anacaraka mengungkapkan bahwa pihaknya memiliki visi misi untuk menjaga kearifan lokal daerah. Selain untuk aplikasi seni lukis, pihaknya juga menonjolkan aksen dari kain tenun tradisional. Founder Anacaraka berkolaborasi dengan IWAPI (Ikatan Wanita Pengusaha Indonesia) Kota Denpasar dengan menampilkan 10 model. “Kita ingin memperkenalkan seni lukis dan budaya Bali melalui cara yang berbeda, seperti melalui fashion” Ungkap Ayu Harmaita.
Melalui fashion show ini, Ayu Harmaita berharap kain tenun endek bisa dicintai oleh segala generasi. Terlebih kain tersebut merupakan warisan leluhur. “Semoga nantinya banyak penenun millennial” harapnya.
Setelah 30 menit para model memperagakan busana teranyar dari masing-masing Founder, beberapa musisi kembali mengguncang kawasan Muntig Siokan. Salah satunya, Melyananda Putu bersama empat orang personil lainnya membawakan lagu ciptaannya yang berjudul Kemarau dan Setangkai. “Lagu ini original, lagu Kemarau dibuat karena saat itu musim kemarau. Kemudian lagu Setangkai sebenarnya random, ngalir aja dan tiba-tiba jadi” cerita Melyananda sesaat setelah penampilannya. Sebagai seorang musisi yang sudah tertarik memainkan gitar dan drum sejak umur 10 tahun, Melyananda mengaku merasa senang dan bangga dapat menampilkan karyanya di perhelatan akhir tahun Denpasar Festival.
Selain itu, Denpasar Festival juga menjadi sebuah momentum berkumpulnya Band Gecko setelah dalam kurun waktu lima tahun tidak bersua dengan penonton di atas panggung. “Kita ngga manggung karena susah nyari waktu, saat Denfest ditawari tampil dan kebetulan waktunya cocok, jadi kita iyakan” ungkap Dwi Pradana Putra selaku bassist Band Gecko. Akhir-akhir ini Band Gecko mengeluarkan sebuah lagu berjudul Warna-warni. Dwi Pradana Putra yang karib disapa Dwi mengungkapkan bahwa lagu tersebut sesungguhnya menceritakan perjalanan Band Gecko karena sekian lama tidak bertemu, “Kita gabung lagi sekarang dan menjadi hal yang berwarna. Sehingga judulnya Warna-warni.” tambahnya.
Hal menarik dalam proses penggarapan lagu tersebut yaitu, Dwi mengaku hanya melalui dua kali masa latihan bersama. Sulitnya menemukan waktu yang pas, sehingga proses penyampaian ide, penggabungan ide dan revisi garapan sebagian besar dilaksanakan secara daring. Ruang virtual seakan menjadi solusi dari pertemuan yang kunjung datang dan Band Gecko membuktikan ruang virtual dapat menjadi suatu wadah untuk terus berkreativitas. “Intinya Denfest kali ini berkesan banget buat kita karena bisa mengembalikan kita dan main bareng lagi dengan format yang full band” tutup Dwi bersemangat.
Leave a Reply
Want to join the discussion?Feel free to contribute!