Sebagai upaya membangkitkan kecintaan generasi muda terhadap budaya lokal, Denfest mengemas edukasi dengan apik dalam bentuk workshop pada Selasa (21/12). Sebelum itu, terdapat pula edukasi mengenai kesehatan reproduksi dan kecantikan dalam sebuah talkshow.

Selain menjadi wadah untuk menggeliatkan perekonomian dan kesenian, Denpasar Festival turut mempersembahkan ruang edukasi berupa workshop dan talkshow dengan narasumber yang telah mempuni di bidangnya. Bertempat di pesisir pantai Mertasari dan disiarkan melalui kanal Youtube Kreativi Denpasar. Pembahasan mengenai isu stunting yang kini menjadi sorotan bagi Pemerintah Kota Denpasar. Pentingnya peran ibu dalam upaya pencegahan stunting, mendorong Pemerintah Kota Denpasar membuatkan wadah pemberian informasi. Salah satunya dalam bentuk bincang-bincang manis di pagi hari bertajuk “Peran Ibu  membentuk Tangguh, Sehat, dan Bebas Stunting” bersama narasumber yang mempuni di bidangnya. Mereka ialah Ny. Antari Jayanegara, Ny, Ayu Kristi Arya Wibawa, Dr Ida Ayu Indira SpOG, dr AAA Laksmi Dewi B, SpKK dan dipandu oleh ketua APSAI Kota Denpasar yaitu dr IGAA Decy Partiwi.  Sebelumnya, stunting  menjadi permasalah nasional. Secara singkat, stunting merupakan kondisi bayi lahir antara berat badan dan ukuran berat badan kurang dari semestinya. Kondisi tersebut disebabkan karena kurangnya asupan gizi saat bayi masih dalam kandungan. 

Ibu Wali kota Denpasar, Ny. Antari Jayamegara memaparkan materi mengenai stunting

Tak sebatas itu, kesehatan reproduksi juga menjadi topik pembahasan dalam talkshow tersebut. Beberapa  masyarakat masih merasa tabu jika membahas mengenai kesehatan reproduksi, oleh karena itu Dr. Ida Ayu Indira SpOG menjelaskan lebih dalam mengenai urgensi dari kesehatan reproduksi. Selain itu, dr AAA Laksmi Dewi B, SpKK membahas mengenai tips kecantikan. Ia menjelaskan bahwa sebagai wanita memang harus menjaga kecantikan, namun etika tetap merupakan hal yang utama. Mengingat keadaan pandemi saat ini yang memaksa seluruh lapisan masyarakat memakai masker, sehingga tak jarang munculnya iritasi, bruntusan, dan gatal di wajah. Seringnya mencuci tangan, tentunya kulit dapat menjadi kering dan melupas. Hal tersebut dapat mengganggu kinerja dan penampilan, sehingga dalam sesi tersebut ia membahas lebih mendalam cara mengatasi permasalahan kulit tersebut, meningkatkan imunitas di masa pandemi, bahkan pembahasan mengenai skincare

Masih berhelat di Taman Inspirasi Muntig Siokan, Pekak Taro sebagai maestro permainan tradisional yang sedari tahun 1973 sudah terjun ke dalam dunia permainan anak turut membagikan ilmunya dalam sebuah workhsop bertemakan Melestarikan Warisan Budaya Melalui Permainan Tradisional”. Meski sudah lanjut usia, I Made Taro tak lelah membagikan ilmunya kepada khalayak, semangat luar biasa terpancar dalam wajahnya. Ia juga aktif dalam mengasuh sanggar Kukuruyuk. Menariknya, ia mengasuh lima Sanggar di Denpasar dan satu Sanggar di daerah Gianyar. Menfokuskan dalam beberapa bentuk yaitu dongeng, permainan tradisional dan gending rare, ia juga kerap kali diundang dalam acara-acara, seperti mendongeng di depan anak SD, Paud, SMA, hingga lansia. “Saya diminta mendongeng dan bermain di depan lansia di sebuah gereja,  ini adalah tantangan bagi saya.” ceritanya. 

Senyum Pekak Taro terpancar saat melihat antusiasme pemuda-pemudi memainkan permainan tradisional

Tidak sendiri, ia bersama I Gede Arya Putra Jaya Wiguna yang biasa dipanggil De Arya selaku Duta Anak Kota Denpasar turut berbagi dalam workshop tersebut. Selaku generasi muda, De Arya menganggap permainan sebagai  sebuah sarana yang bisa menyampaikan pesan-pesan moral atau nilai yang terkandung dalam setiap jenis permainannya. “Seiring perkembangan waktu, banyak anak yang beralih memainkan gawai mereka dibanding memainkan permainan tradisional, padahal permainan tradisional penting dalam pembentukan karakter pada anak” Ujarnya. De Arya mengaku, dalam Forum Anak Daerah Kota Denpasar sudah beberapa kali melakukan kegiatan yang berkaitan mengenalkan permainan tradisional, salah satunya dalam bentuk webinar bertajuk “Bincang Anak Kota Denpasar”, kemudian turut megedukasi melalui sebuah drama berjudul “Eling” dengan pemanfaatan media sosial dalam proses penyebarannya.

Setelah berbincang-bincang, I Made Taro mempraktikkan beberapa permainan tradisional di hadapan peserta. Senyum sumringah terpancar di wajah para peserta tatkala mereka berkesempatan memainkan beberapa permainan tradisional yang dipandu oleh Pekak Taro.

Pekak Taro juga mengaku bangga dan senang melihat antusiasme pemuda dan pemudi dalam bermain. “Jadi permainan ini bukan hanya untuk anak-anak, tetapi untuk segala usia” ujar Pekak Taro. Sebagai Duta Anak Kota Denpasar, De Arya juga berharap agar generasi muda saat ini turut melestarikan permainan anak.

Warna-warni pelangi, rambut gimbal, dan kacamata hitam menjadi identitas sebagian besar para pengisi acara rangkain Denpasar Festival ke-14 pada hari Selasa (21/12). Kini, musik reggae mendapat gilirannya. Alunan ritmis skank itu menemani senja menuju peraduannya di Muntig Siokan, Pantai Mertasari, Sanur.

Joni Agung tampil di panggung hiburan dan UMKM Denpasar Festival ke-14.

Puluhan tangan melambai-lambai kala Joni Agung & Double T membawakan lagu-lagunya di atas panggung. Memang, musik reggae menjadi giliran menghiasi panggung hiburan Denpasar Festival ke-14 di Muntig Siokan, Pantai Mertasari, Sanur. Ada pula penampilan musisi lainnya, seperti The Pewe, Anggel Band, The Jings, Soullast, Bali Reggae Boys feat Ida Budiman, Mr. Botax, The Small Axe. Joni Agung pun tak berhenti tersenyum saat bernyanyi. “Kita sudah menyiapkan lagu-lagu hits kita. Karena ada pengunjung, jadi kita ingin semuanya happy bergembira,” katanya.

Lebih lanjut, ia benar-benar ingin musik reggaenya dapat kembali mmebuat orang bugar setelah jenuh dari keseharian. “Kita anggap ini penutupan ya artinya teman-teman yang sudah berkerja, berkeringat, malam ini biar fit, biar ceria,” tambah Joni Agung saat dijumpai sebelum tampil. Geliat musik reggae selalu berdenyut di tangan musisi Joni Agung. Di tengah pandemi, pada Februari 2020 menjadi bulan spesial bagi Joni Agung & Double T. Di bulan ini, grup music reggae asal Bali ini merilis album terbarunya yang bertajuk Semara Ratih dengan total 20 lagu. Tidak berhenti samapi di sana, pada tahun 2021, Joni Agung & Double T juga meluncurkan sebuah single yang bertajuk Tembang Gegonjakan. “Single senang-senang aja, ya biarpun pandemi kita ada gigs-gigs kecil komunitas. Jadi kita tidak mati,” ungkapnya seraya tersenyum.

Suasana panggung hiburan Denpasar Festival di Muntig Siokan.

Penampilan Joni Agung & Double T malam itu pun sukses membuat para penonton bangun dari tempat duduknya menuju depan panggung. Masing-masingnya melambai tangan dan berdansa diantara pasir putih. “Inovasi yang ada ini luar biasa. Karena semua sedang susah. Agar tidak terfokus di satu tempat jadi bisa diadakan dimana-mana, semuanya bekerja keras meskipun di tengah pandemi masih berusaha dengan bagus,” ujar Joni Agung mengapresiasi konsep Denpasar Festival tahun ini.

Sementara itu, Gede Lanang Darma Wiweka atau yang dikenal Mr. Botax yang turut membawakan musik reggae pada hari itu. Biasanya, ia membawakan lagu rock dengan menjadi pemain bass Lolot Band. “Sekarang saya mainnya reggae. Sebuah komitmen yang awalnya di musik rock, kalau main rock saya sama Lolot Band, kalau idealis saya tuangkan di reggae,” ucap Mr. Botax saat dijumpai seusai penampilannya. Lebih lanjut ia membagikan cerita perjalanan musiknya yang sejak dahulu sudah memainkan genre reggae. “Dari SMA saya punya band reggae untuk sma saja. Ini bukan musik asing bagi saya, tinggal menyesuaikan telinga saja, untuk hati si sudah dari dulu (di reggae),” lanjutnya. Sama seperti Joni Agung, Mr. Botax pun tak surut-surutnya berkarya. Pada tanggal 12 Desember 2021 lalu, ia merayakan 25 tahun perjalanan musiknya. “Saya terus menulis beebrapa lagu dan dijadikan album, saya mengajak beberapa teman saya yang ikut dalam 25 tahun saya berkarya, seperti Joni Agung, Boby SID, Navicula, dan lainnya” papar Mr. Botax. Ia yang kerap dilibatkan dalam Denpasar Festival ini pun melihat pada tahun ini sangat bersyukur dengan keberadaan pengunjung yang bertandang ke Muntig Siokan. Masyarakat datang dengan tetap taat protokol kesehatan.

Penampilan Bali Reggae Boys ft Ida Budiman.

Adapun Joni Agung mengungkapkan harapannya bagi Denpasar Festival. “Harapan saya ke depan ya menumbuhkan orang-orang kreatif. Bukan hanya seniman musik, seniman tari, dan semua dikolaborasikan. Itu yang penting karena ini kan festivalnya Denpasar jadi yang melakoi orang-orang Denpasar.” Tutupnya.

Bagi manusia Bali, proses berkesenian bukan perkara mudah. Terkadang, seniman juga perlu terhubung dengan sang semesta. Suntuk mengheningkan batin, menjelmakan diri sebagai ruang terbuka. Begitulah, segala inspirasi dan energi merasuk pada pemikiran-pemikiran kreatif sehingga dapat mencipta topeng maupun menarikan barong.

            Proses berkesenian tersebut menjadi perbincangan utama dalam pemaparan oleh I Made Kara, BA., mestro topeng asal Sanur yang menginisiasi Rumah Topeng Sanur. Pagi hari di tanah kelahirannya, ia berbagi kisah pencarian inspirasi yang datang dari proses meditasi. “Inspirasi dalam pembuatan itu ada kaitannya dengan kekuatan batin dengan setiap pembuatan topeng,” paparnya saat workshop topeng dan barong pada Senin (20/12) di Muntig Siokan, Pantai Mertasari, Sanur. Made Kara hari itu ditemani oleh Ketut Batu yang menyampaikan materi tentang kesenian barong.

Made Karang membawakan workshop tentang topeng.

            Lebih lanjut, kekuatan batin dalam proses pembuatan topeng ialah seperti pembuatan topeng keras dari babad wang bang pinatih. Maka, ia akan melakukan proses pendalaman baik pengetahuan maupun batin terhadap sosok arya wang bang pinatih. “Dari awal pembuatan itu kita sudah sikap sempurna, bangkitkan sesuatu kekuatan, baru kita mencari kayu, setelah itu kita tambahkan (proses pembuatan),” tutur Made Kara seraya membawa sebuah topeng karyanya. Memang, kiprah Made Kara sangat dikenal di Desa Sanur Kauh. Akibat spiritualitasnya dalam berkarya, ia pun bahkan kadangkala berdiskusi dengan roh-roh suci dalam perjalanan meditasinya itu. Pada intinyal; sebelum memahat kayu, ia terlebih dahulu bermeditasi dan menyucikan diri, barulah ide tertuang ke dalam pahatannya. Made Kara kemudian mengambil sebuah topeng yang merupakan bentuk dari wujud mitologi Ratu Niang. “Saya buatkan topeng Ratu Niang Sakti, pasti banyak yang tedun (jika dipentaskan). Niki topeng kabanggaan saya,” ujarnya bangga.

Workshop topeng dan barong berlangsung pada Senin (20/12).

            Diskusi pun berlanjut, dipandu oleh Jik Gung Mantra, pembicaraan beralih pada Ketut Batu, salah satu maestro penari Barong di Sanur sekaligus inisiator Kubu Barong Sanur. Kiprah Ketut Batu jangan ditanya. Ialah yang berhasil menjadi seorang penari barong dari ketekunannya. “Mulai kelas 2 SMP sudah latihan baru. Awalnya tyang penasaran. Saya hanya suka megambel. Karena penasaran, kenapa barong jungklang-jungkling. Disuruhlah saya untuk belajar,” ujar Ketut Batu. Baginya, belajar menari barong haruslah sungguh-sungguh. Sebab, jika tidak, maka akan mudah menyerah. Sebab, belajar untuk menggerakkan tapel barong saja dapat dipelajari hingga berhari-hari. “Satu gerakan saja nyeledet itu dua hari dipandu dengan kaca dan kaset barong intaran, dan ada musik iringannya. Itu dipakai awal latihan terlebih dahulu,” paparnya. Setelah menguasai beberapa gerakan, langkah berikutnya tidak mudah, sebab ia selama itu latihan hanya menggunakan tapel. Sementara ia kemudian mencoba praktik menggunakan barong buntut. “Langsung beda posisi, bisa saja saat tapelnya naik itu tidak sepenuhnya bisa naik karena ada beban kostum barongnya,” lanjut Ketut Batu.

Ketut Batu menyampaikan materi tentang barong.

Workshop kemudian dilanjutkan dengan praktik menari barong. Ketut Batu mengajak seorang muridnya, Mang Ta. Ia pun kemudian menjadi peraga dalam praktik gerakan barong satu per-satu. “Untuk awal dulu saya ajarin Mang Ta itu dari segi megang tapel. Kalau tangan kiri boleh dia memegang, boleh di bawah, boleh di atas. Pemegangan tapel itu memang harus kuat di kiri,” ungkap Ketut Batu seraya sesekali mengarahkan tangan Mang Ta. Di sisi lain, Made Kara juga mencoba menarikan topengnya. “Kalau nari jangan ragu ikut menggerakkan badan, mengikuti kaki.” Ujarnya. Baik Made Kara maupun Ketut Batu sangat menghayati proses berkeseniannya. Made Kara tidak pernah absen dalam berbagai proses pembuatan topengnya. Sementara itu, Ketut Batu, sosok yang awalnya tidak bisa menari, bermodalkan penasaran dan ketekunan, namanya harum di jajaran maestro barong di Sanur.

Alunan musik rock bergema di Ruang Teater Taksu, Gedung Dharma Negara Alaya pada Minggu (19/12). Suara para vokalis yang melengking diadu dengan irama yang mendebarkan hati. Beberapa ada yang menjadikan konsernya di Denfest sebagai wadah pertemuan kembali maupun kesempatan perdana menyanyikan karya albumnya.

Penampilan band The Hydra di Ruang Teater Taksu, Gedung Dharma Negara Alaya.

Setidaknya, begitulah yang dialami The Hydra. Setelah 18 tahun terpisah, para personel band The Hydra kembali menjalin perjalanan musiknya. “Ini adalah ketiga kalinya gigs kami setelah rilis album pertama,” ujar Zio, bassist band The Hydra saat berdiri di atas panggung Ruang Teater Taksu, Gedung Dharma Negara Alaya pada rangkaian Denpasar Festival ke-14. Band rock yang dibentuk di Denpasar pada tahun 1999 itu turut menampilkan konser musiknya bersama musisi lainnya; Alcouste, Psycomachine, Dr. Rose, Winnie the Blues, Balasina ft Danan Jaya, Marco Punk Bali, Glambeer, Rocknest, Tri Brothers, dan Sound of Mine.

Tidak hanya sebagai ajang pertemuan kembali, bagi Gung Wah, pemain keyboard band The Hydra mengaku Denpasar Festival dapat memberikan ruang untuk memperkenalkan karya-karya para musisi. “Lebih te

Zio, pemain bass band The Hydra yang turut bernyayi.

patnya ajang untuk memperkenalkan karya musik pertama dan yang akan kita launching bulan Januari,” ungkapnya saat ditemui sebelum penampilan. Memang, ada kisah menarik dibalik penampilan band The Hydra hari ini. Setelah malang melintang di berbagai kompetisi musik di tahun 2000-an, band The Hydra sempat tak berlanjut pada tahun 2003. Personelnya, (Taufiq (vokal), Zio (bass), Deny (Drum), Wah (Keyboard), dan Wis (gitar) membubarkan diri dan terlibat di grup musik lain serta memiliki profesi masing-masing. Tidak diduga, momentum pandemi mempertemukan mereka. “Jadi kita ini kan berjalan di profesi yang berbeda, ada yang wisausaha ada yang pure sebagai musisi, pandemi ini membuat mereka kehilangan aktivitas yang biasa mereka lakukan,” lanjut Gung Wah. Rutinitas yang hilang tersebut akhirnya mempertemukan kembali pada jalan bermusik. Mereka pun sepakat untuk menggarap album pertama yang bertajuk “Evolusi Vol.1” yang di-launching pada tahun 2020.

Uniknya, album pertama mereka berisikan lagu-lagu lama yang digarap ulang sebab sebelumnya tidak memiliki jejak digital.  Tidak berhenti hanya sampai di sana, pada ajang Denfest, mereka memberikan bocoran album kedua yang akan dirilis pada Januari 2021 berjudul “Evolution Vol. 2”. Judul album yang menggunakan bahasa inggris bagi Gung Wah ialah dikarenakan lirik lagu mereka kini yang berbahasa inggris dengan harapan dapat memperluas jangkauan audiens. Sementara itu, ia juga menceritakan album keduanya mengandung unsur pesan-pesan sosial. “Melihat keadaan sekarang teutama melihat kita ya rakyat tidak ada kepastian dan bertanya-tanya terutama, misalnya kapan ini (pandemi) akan berakhir jadi ada juga pesan sosial ada untuk membangkitkan semangat kebersamaan juga ada,” tambahnya.

Penampilan musisi muda, Bala (kiri) yang berkolaborasi dengan penyanyi Danan Jaya.

Di sisi lain, ada pula penampilan dari para musisi belia. Ialah Sina (17 tahun) dan Bala 11 tahun) yang memainkan gitar dengan berkolaborasi bersama penyanyi Danan Jaya. Penampilan memukau mereka malam itu ternyata telah melalui proses yang panjang. “Saya memang dari kecil bapaknya sudah ngarahin ke gitar, adiknya keyboard dulu tapi karena ngelihat saya ikut juga jadinya,” ujar Sina saat ditanya usai penampilan. Ialah pertama kalinya malam itu mereka tampil di Denpasar Festival. Sina mengaku, awalnya ia takut mengecewakan orang. “Tapi penampilan tadi sudah memuaskan,” katanya tanpa ragu. Bala juga turut membagikan perasaannya tampil perdana di Denfest. “Deg-degan,” ucapnya seraya tertawa.

Penampilan band Sound of Mine yang turut memeriahkan Denfest ke-14.

 

Suasana di Gedung Dharma Negara Alaya yang menghadirkan musik rock pada itu pun kian meriah saat malam hari. Berbagai bentuk-bentuk irama tersaji menjadi keunikkan masing-masing band. “Harapannya denfest ini agar selalu berlanjut, bisa menjadi wadah untuk seniman, musisi dan bisa dinikmati secara merata di Denpasar maupun Bali.” Tutup Gung Wah, ia pun bersama personal band lainnya bergegas tampil menuju panggung Teater Taksu.

Pesona kawasan Gadjah Mada Heritage seolah berbinar tepat dengan rampungnya penataan sekaligus diadakannya Denpasar Festival di Plaza Pasar Badung pada Jumat (17/12). Suasana haru pecah saat proses pemuliaan Patung Dewi Mas Melanting dengan menghaturkan canang dan melantunkan geguritan salampah laku.

Begitulah suasana pemuliaan Patung Dewi Mas Melanting sebagai rangkaian dari rampungnya penataan kawasan Gadjah Mada itu. Haru terutama terpancar dari wajah arsitek penataan Kawasan Gadjah Mada Heritage, I Ketut Siandana, S.T. Di depan Patung Mas Dewi Melanting yang tersorot lampu kuning, ia menundukkan wajah seraya menahan matanya yang sembab dengan satu tangan. Sepotong suasana itu merupakan bagian dari rangkaian Denpasar Festival ke-14 yang berhelat di Plaza Pasar Badung. Hari ini (17/12), Denfest menghadirkan kesenian tradisional hingga konser musik yang dihiasi oleh berbagai seniman Kota Denpasar. Para pengisi acara diantaranya Ebano Bali yang membawakan kesenian selonding, tari damar kuung, dan rejang amustikara. Sementara itu, ada pula penampilan konser musik dari Keroncong Putri, Rare Ageta, Gus Agung and Band, Jun Bintang, Emoni, dan Panji Ulangan.

Suasana haru saat peorses pemuliaan Patung Dewi Mas Melanting.

Rangkaian acara dimulai dengan menampilkan persembahan pementasan kesenian dari Ebano Bali berupa pementasan selonding, tari damar kurung, dan rejang amustikara. Suasana magis pun terasa sebab beberapa penari nampak kerasukan dan langsung dibopong menuju pura melanting. Telah rampungnya penataan Kawasan Heritage Gajah Mada kemudian dilakukan proses pemuliaan Patung Dewi Mas Melanting. Pemuliaan ini dilaksanakan melalui penghaturan canang beserta penerbitan sebuah buku bertajuk “Sang Kala Tri Semaya”. Sebelumnya, terdapat penataan kawasan Gadjah Mada Heritage, terdapat pembangunan Patung Dewi Mas Melanting, Patung Tri Semaya, Bangunan Jembatan, Bangunan Drop Off, dan Fassade Pasar Kumbasari. Patung yang hadir pun istimewa lantaran dikerjakan oleh para seniman muda Denpasar, Putu Marmar Herayukti dan Komang Gede Sentana Putra, S.Sn (Keduk). “Pasar yang kita kenal bukan hanyalah pertukaran komoditi, namun di masa lampau maupun di masa kini semestinya pasar itu menjadi tempat dan sebuah titik nol menjadi pertukaran budaya kesenian,” ucap Putu Marmar Herayukti, sang kreator Patung Dewi Mas Melanting memaknai karyanya.

Marmar dan Keduk, dua seniman muda Denpasar yang terlibat dalam penataan kawasan Gadjah Mada Heritage.

Lebih lanjut, Wali Kota Denpasar dan Wakil Wali Kota turut hadir ke atas panggung dalam proses pemuliaan dengan menghaturkan canang dan melantunkan Geguritan Salampah Laku. I Ketut Siandana, S.T., selaku arsitek penataan kawasan Gadjah Mada menceritakan mengapa Marmar dan Keduk ditunjuk sebagai seniman yang menggarap mahakarya patung tersebut. “Di tengah patung ini ada karyanya Marmar, di kanan kirinya itu ada karyanya Keduk. Dua seniman ini juga memiliki karakter yang sesuai dengan karyanya ini,” terangnya seraya menunjuk masing-masing patung.

Di samping Ketut Siandana, Keduk menceritakan mahakaryanya. Ia mengatakan bahwa patung Tri Semaya sesungguhnya ingin mengangkat nilai-nilai karakter Kota Denpasar. Karakter Kota Denpasar ini diejawantahkannya secara gamlang melalui visual dalam karya etalasenya. “Saya ingin Denpasar saya itu adalah Denpasar, saya lebih ke percaya akan karakter sudah dibuat dengan nenek moyang di Denpasar. Yang paling sederhana adalah style Bebadungan,” ujar Keduk selepas peremian. Gaya pahatan Bebadungan itu baginya berupa bentuknya minimalis dengan ornamen dan menonjolkan bebalihan. Keduk juga menceritakan proses Patung Tri Semaya memakan waktu selama tiga bulan dengan berat sebesar 3.3 ton.

Pemilihan tempat Plaza Pasar Badung memang telah dipertimbangkan atas rampungnya karya-karya seniman pemahat Denpasar tersebut. Hal ini diungkapkan oleh Event Organizer Denpasar Festival, Putu Gede Suwitra. “Tidak hanya sebagai ruang untuk transaksi tradisional terjadi di sini, tapi ada juga etalase-etalase yang merepresentasi kehidupan urban yang bisa dihidupkan melalui pelataran yang ada di sini,” jelasnya perihal pemilihan tempat Plaza Pasar Badung. Ia pun berharap agar etalase patung mahakarya seniman Denpasar tersebut dapat menjadi ikon kemakmuran sekaligus menjadikan Plaza Pasar Badung sebagai ruang kreatif.

Penampilan Emoni Bali yang turut memeriahkan acara Denfest ke-14.

Suasana Denpasar Festival kian meriah kala Jun Bintang hadir dipanggung. Masyarakat sekitar mulai berdatangan dan saling bernyanyi bersamanya. Meski sempat diguyur hujan, pelaksanaan Denfest sempat ditunda. Hal ini tidak menyurutkan semangat penonton. Mereka tetap menunggu persembahan para penampil. Terlebih, adanya bondres yang memantik gelak tawa membuat suasana Denfest kian hangat hari itu.

Penampilan Jun Bintang yang memantik antusiasme penonton.

Adapun Wakil Wali Kota Denpasar, I Kade Arya Wibawa, S.E., M.M., sangat mengapresiasi kontribusi para seniman muda Denpasar. “Ke depan pak wali kota dan saya akan selalu menggandeng mereka (para seniman). Tadi mereka bilang berharap dilibatkan, kami akan menjawab itu. Bertahap. Mungkin spot-spot kota juga akan kita tata,” tambah Wakil Wali Kota. Ia pun nampak salut dengan antusiasme masyarakat yang hadir namun tetap taat protokol kesehatan. “Masyarakat Denpasar sudah sadar mereka butuh hiburan tapi mereka taat protokol.” Tutup Arya Wibawa dengan senyuman. Perhelatan Denpasar Festival hari ini pun dapat disimak pada siaran langsung di kanal youtube Kreativi Denpasar.  

Meskipun hujan deras sempat mengguyur Banjar Abasan Tegal Buah, Padangsambian Kelod. Namun tidak menyurutkan semangat para penampil untuk mempersembahkan garapan terbaiknya  pada Selasa (14/12)    

 

         Pelaksanaan prinsip Nyatur Desa dalam rangkaian perhelatan Denpasar Festival, yakni menyebar mata acara ke empat wilayah di Denpasar kali ini hadir dari Denpasar Barat tepatnya Br. Abasan Tegal Buah, Padangsambian Kelod. Pementasan yang berlangsung sejak pukul 19.00 hingga 21.00 WITA, menghadirkan pementasan seni budaya kontemporer. Para penampil dalam pelaksanaan Denfest hari ini diantaranya Sanggar Bumi Bajra Sandhi, Juara 3 Makendang Tunggal dan Bapang Barong dari Sekaa Satya Bandhu Kencana, hingga Kroncong Jancuk & Dancer.

Penampilan Bapang Barong dari Satya Bandhu Kencana dalam perhelatan Denfest ke-14

Penampilan pertama dipersembahkan oleh Juara 3 Makendang Tunggal dan Bapang Barong dari Sekaa Satya Bandhu Kencana. Para penonton yang hadir dengan protokol kesehatan bertepuk tangan meriah selama menyaksikan penampilan Bapang Barong yang atraktif. Selepas terhibur meriahnya penampilan Bapang Barong, para penonton pun dibawa ke dalam suasana yang 180 derajat berbeda dari sebelumnya. Suasana misterius dan tentram dihadirkan Sanggar Bumi Bajra Sandhi melalui garapan yang bertajuk “Mozaik”. 

Penampilan kontemporer bertajuk “Mozaik” membawa kumpulan dari cuplikan karya-karya yang sudah ada sebelumnya, diantaranya adalah tradisi lisan Ni Diah Tantri. Selain itu, dalam garapan kontemporer juga menggabungkan eksperimen tubuh berupa gambuh yang menekankan pada karakter perempuannya. 

Sambutan I Gede Wijaya Saputra selaku Perbekel Desa Padangsambian Kelod

Guyuran hujan berhenti pukul 19.30 WITA, perhelatan Denfest terus berlanjut di Banjar Abasan Tegal Buah. Menurut Perbekel Desa Padangsambian Kelod, I Gede Wijaya Saputra bahwa dirinya sangat mengapreasiasi langkah Pemerintah Kota Denpasar dalam melaksanakan Denfest ke-14 yang bertujuan membangkitkan potensi kesenian dan budaya di Kota Denpasar. Selama persiapan Denfest ke-14, dirinya dan segenap masyarakat hingga perangkat desa berusaha menyiapkan semaksimal mungkin fasilitas di Br Abasan Tegal Buah. “UMKM diberi fasilitas dan protokol kesehatan juga. Kami melibatkan pecalang dan semua perangkat desa ikut terlibat, Ada sekitar lima UMKM yang terlibat dan semuanya adalah produk lokal,” ujar Wijaya. 

Penampilan garapan bertajuk Mozaik, persembahan dari Sanggar Bumi Bajra Sandhi

Tidak hanya Wijaya, Ida Ayu Wayan Arya Satyani selaku penggarap penampilan kontemporer bertajuk “Mozaik” dari Sanggar Bumi Bajra Sandhi turut mengapresiasi adanya Denfest ke-14 yang pelaksanaanya menjurus ke tiap-tiap banjar di Kota Denpasar. “Denfest bagus bisa masuk ke ruang-ruang seperti banjar, semoga terjaga konsistensinya,” harap Dayu Ani. 

Mengenai protokol kesehatan, Wijaya turut menjelaskan bahwa capaian vaksinasi warga Padangsambian Kelod telah berada dalam vaksinasi gelombang ke-7 dan 97 persen warganya telah tervaksinasi. “Tidak hanya menggencarkan vaksin kami juga menjamin fasilitas di banjar-banjar seperti sudah disiapkan wifi, dan lain-lain kita sudah lengkapi,” tambah Wijaya.

 

Keroncong Jancuk turut menyemarakkan perhelatan Denfest ke-14 dengan menyanyikan beberapa lagu.

Keseruan Denfest di Br Abasan Tegal Buah semakin terasa berkat polah tingkah dua pelawak Bali yaitu Gingsul dan Cedok, sebagai pemandu acara. Riuhnya pementasan di Abasan kian membuncah tatkala penampilan pamungkas dari Keroncong Jancuk. Sorak sorai suara penonton berpadu dengan instrumen keroncong yang khas berpadu dengan gaya gamelan Bali. Pembawaan para vokalis grup musik Keroncong Jancuk yang unik dan kekinian, turut memeriahkan suasana di langit malam Abasan. 

 

 

Wali Kota dan Wakil Wali Kota Denpasar beserta jajaran menyaksikan garapan seni kontemporer yang berlangsung di Banjar Abasan Tegal Buah, Padangsambian Kelod, Denpasar Barat

 

 

Wali Kota Denpasar, I G N Jaya Negara yang turut hadir dalam pementasan di Abasan Tegal Buah, mengungkapkan adanya Denfest yang tersebar keempat Kecamatan di Denpasar dapat meningkatkan potensi-potensi yang ada disetiap kecamatan khususnya di ranah desa adat. “Mudah-mudahan dengan ruang yang kita berikan anak-anak kita masih bisa berkreatifitas dalam proteksi kesehatan. Adanya Arsa Wijaya ini kami ingin meningkatkan imunitas melalui kesenian, budaya, dan segala aktivitasnya,” ungkap Jaya Negara. Ia menegaskan dengan adanya Denfest kali ini diharapkan mampu meningkatkan imunitas dengan jalan senantiasa berkreativitas.

Gelaran konsep catur desa pertama kalinya dilaksanakan di Wantilan Desa Adat Pohgading. Pada Minggu (12/12), pentas seni menghadirkan para juara seni karawitan dari seluruh penjuru Kota Denpasar. Di sisi lain, terdapat acara Lokakarya Gamelan Mulut dan Genggong. Tidak lupa, stand UMKM yang telah terpilih oleh pihak desa setempat turut menyemarakkan perhelatan acara Denpasar Festival hari ini.   

Wali Kota Denpasar, I Gusti Ngurah Jaya Negara meninjau stand UMKM di Wantilan Desa Adat Pohgading.

Sejak pukul sejak pukul 17.45 WITA, Walikota Denpasar, I Gusti Ngurah Jaya Negara nampak tengah meninjau stand UMKM (Usaha Mikro Kecil Menengah -red) yang hadir menyemarakkan rangkaian Denpasar Festival ke-14 di Wantilan Desa Adat Poh Gading. Ia berkeliling sembari mengobrol dengan para penjaga stand UMKM. “Kenapa saya hadir mendahului itu kita berharap dimana spirit kita adalah pelaksanaan Denfest ini memberikan peluang terhadap seniman, musisi, dan pelaku UMKM walaupun belum maksimal tapi kita menyesuaikan kondisi pandemi ini,” ujarnya pada Minggu (12/12). Saat menjelang perhelatan seni karawitan, Jaya Negara nampak duduk di tengah-tengah penonton. Di bangku depan, ramai anak-anak dari desa setempat yang turut bersama Walikota Denpasar. Pentas seni karawitan pun digelar pukul 19.00 WITA yang dipandu oleh pelawak Bali, Dadong Rerod.

Wali Kota Denpasar, I Gusti Ngurah Jaya Negara hadir duduk di bangku penonton.

            Pada rangkaian Denfest di Wantilan Desa Adat Pohgading, terdapat aktivitas kreatif berupa Lokakarya Gamelan Mulut dan Instrumen Genggong yang disampaikan oleh I Made Wardana, S.Sn. Acara dilanjutkan dengan pentas seni karawitan yang dipersembahkan oleh beberapa komunitas seni, diantaranya Pentas Bapang Barong dan Tabuh Pategak dari Komunitas Kubu Gendok, Gong Suling dari Gamelan Suling Madu Suwata, Tabuh Baleganjur dari Sanggar Gita Widya Kencana, dan pementasan Genggong beserta Gamelan Mulut dari Sanggar Qakdanjur. Adapun pada hari pertama pelaksanaan di Desa Adat Poh Gading, memberi ruang bagi para seniman-seniman juara dari seluruh penjuru Kota Denpasar. Hal ini dijelaskan oleh I Gusti Ngurah Murthana, S.T selaku Koordinator Acara pentas seni dibidang Karawitan Denpasar Festival. “Di Kota Denpasar ada banyak lomba-lomba, baik itu ada parade maupun semua jenis bidang seni karawitan. Kayak genggong ini punya potensi pestasi kita tempatkan di Denpasar Utara,” paparnya. Murthana lebih lanjut menjelaskan bahwa garapan seni yang melibatkan para seniman dari Desa Adat Pohgading baru akan dilaksanakan besok, Senin 13 Desember 2021.

Para Juara hadirkan Kesenian Karawitan Inovatif

Komposer dari seni karawitan, Putu Yoga Pradana Putra dari Sekaa Suling Madu Suwara memaparkan garapan spesialnya untuk Denpasar Festival kali ini. Sekaa Suling Madu Suwara menampilkan gong suling yang bertajuk “Enjoy Skank” dan “Kumbang Ayana”. Skank merupakan suatu gaya ritmis dalam musik reggae. Musik reggae berbasis pada gaya ritmis yang bercirikan aksen sinkopasi. Inspirasi genre musik raggae ini dikolaborasikan oleh Yoga dengan media gamelan suling. “Sebenarnya terinspirasi dari raggae ini karena musiknya relaks. Jadi ingin benar-benar menghibur penonton. Apalagi musik gamelan Bali yang cenderung berada pada nentatonis, sementara raggae diatonis sehingga menciptakan tantangan tersendiri,” ungkap Yoga saat dijumpai sebelum pementasan. Yoga mengaku kesulitan mengkolaborasikan musik raggae dan suling ini utamanya terletak pada pola dan instrumen yang berbeda. “Benar-benar harus mengandalkan intuisi,” tambahnya.

Persembahan kesenian karawitan oleh sekaa suling Madu Suwara bertajuk “Enjoy Skak” dan “Kumbang Ayana”

            Tidak hanya pementasan seni karawitan, rangakain Denfest di Wantilan Desa Adat Pohgading turut pula dilaksanakan Lokakarya Gamelan Mulut dan Instrumen Genggong yang diisi oleh I Made Warsana, S.Sn. Kemudian di Gedung Dharma Negara Alaya, berlangsung pula pameran seni rupa 10 Fine Art. Denpasar Sineas Festival juga belum surut, terdapat beberapa film yang diputar hari ini, diantaranya Belajar pada Pandemi, Bagaskara, Laut Nusa Penida, dan Story.

            Lebih lanjut, Walikota Denpasar sangat mengapresiasi semangat para seniman di Kota Denpasar yang tampil hari ini. “Waktu D’Youth Festival itu ada bapang barong, baleganjur, nah hasil juara kita pentaskan sekarang. Seleksi tersebut juga akan diarahkan untuk mewakili Duta Kota Denpasar untuk Pesta Kesenian Bali,” tutur Jaya Negara. Ia mengaku respons masyarakat ternyata sungguh antusias. Jaya Negara berharap kegiatan kesenian, edukasi, dan ekonomi ini dapat menjadi motivasi bangkit dari pandemi. “Bangkit, jangan menyerah dengan situasi.” Ucapnya.

Gamelan Mulut dan Genggong dari Sanggar Qakdanjur menutup acara hari ini.

Antusiasme masyarakat ini disebabkan karena konsep catur desa yang membuat Denpasar Festival benar-benar hadir di tengah masyarakat. Di sisi lain, Murthana, persiapan Lokakarya Genggong amat terbantu oleh para pihak Desa Adat Poh Gading, seperti bendesa, hingga pecalang. Sehingga langkah Denfest dengan konsep Catur Desa dan melibatkan Desa Adat sangatlah tepat. Pementasan hari ini pun turut disiarkan secara langsung pada kanal Youtube Kreativi Denpasar.

Di bale banjar, kerap keluh-kesah krama (warga) membuncah. Di bale banjar pula, dialektika itu bergeliat, solusi pun ditemukan. Seperti itulah 10 Fine Art mengibaratkan diri. Keterbatasan ruang bagi seniman pemula dalam memajangkan karya mendorong mereka untuk berkomunitas dan berkolaborasi. Kini, mereka dapat menyambung hidup dari seni rupa.

            Sulitnya ruang bagi seniman pemula itu diungkapkan oleh I Made Dolar Astawa, salah satu pelukis yang tergabung dalam komunitas seni rupa 10 Fine Art. “Pada situasi awal seniman komunitas ini sangat sulit untuk mencari ruang seni buat pameran itu sangat sulit. Paling kegiatan kita ngacung, di sana terjadi intervensi terhadap dunia seni dari pebisnis,” ungkap pria yang karib disapa Dolar saat dijumpai di Studio Batako (4/12). Saat itu Dolar masih duduk di bangku sekolah. Kegiatan berkesenian sebagai seorang kelahiran Gianyar terlebih dari darah keluarga Sangging membuatnya akrab dengan seni lukis sejak belia. Kala itu, ada pengepul lukisan yang memasarkan di daerah Ubud, ke galeri artshop-artshop. Dolar yang mengetahui lukisannya dapat memberi penghasilan kemudian memantapkan diri bahwa melukis bisa menjadi jalan hidupnya. “Sampai hampir setiap harilah kegiatan di kampung itu bersentuhan dengan itu odalan ya kalau tidak nari ya lukis, akhirnya ada kesenangan, ada hobi, punya keyakinan sampai hari ini hidup dari seni dan tidak punya apalagi,” tuturnya.

Bercerita – I Made Dolar Astawa, salah satu seniman 10 Fine Art, menceritakan kiprah komunitasnya.

            Namun, memupuk diri sebagai pelukis kepada level yang berikutnya ternyata tidak mudah. Ia kelimpungan mencari tempat untuk memajangkan karya. Lebih-lebih, ketika ia mengacung, kerap kali justru mendapat intervensi karya dari para pebisnis. “Misalnya, lukisan ini kurang cerah warnanya, pokoknya ditekan. Kebebasan seniman ini kan ter-renggut dia karena ekonomi,” lanjut Dolar. Ngacung, istilahnya untuk menjajakan hasil lukisan ke galeri-galeri maupun artshop-artsshop. “Kita bawa ini lukisan pakai sepeda motor ke galeri-galeri, jalan itu sepanjang jalan di sana kita masuk permisi pak ini saya tawari lukisan saya,” ceritanya seraya kembali memeragakan diri membawa lukisan. Sering kali yang didapatkan justru kritik atau bahkan dibayar hanya Rp. 50.000 – Rp. 100.000. Terkadang, ada saja yang menyepelekan lukisannya. “Aduh, parah. Kalau mental mental orang tidak kuat tidak ada yang mengambil jalan itu karena situasi dan kondisi yang membuat,” lanjut Dolar. Kondisi tersebut sebab akses internet masih sangat sulit. Bahkan, telepon hanya dimiliki oleh orang-orang tertentu. Respons yang didapatkan Dolar itu membuatnya berpikir kembali; berani atau tidak mengacungkan lukisannya di esok hari. Kesulitan itu membuatnya sebagai seniman rupa baru gelisah.

Terlebih saat itu pasar lukisan banyak didominasi oleh pelukis-pelukis ternama, seperti Nyoman Gunarsa. “Kegelisahan itulah yang kemudian saya bekerja di sebuah galeri dan saya beli karya teman-teman ini dengan harga murah dengan dijual harga mahal,” tutur Dolar. Ia misalnya, membeli lukisan dari Romy Sukadana dengan harga Rp. 300.000. Kemudian seolah turis dari Jerman membeli seharga Rp. 3.000.000. Namun, pelukis justru kurang sejahtera karena hanya mendapatkan keuntungan sebesar 40% dari hasil penjualan. Dolar kemudian bertekad agar pelukis dapat menjual langsung karya-karyanya. Ia kemudian mengumpulkan para seniman yang lukisannya telah terpajang di galeri tempatnya bekerja. “Di sana diskusi itu terus muncul, setiap ketemu dengan temen, kok seperti ini ya situasinya. Karena semua saya pikir punya kegelisahan yang sama,” katanya. Situasi dan tekanan tersebut membuat teman-teman pelukis Dolar yang sevisi kemudian memilih untuk menempuh jalan berkomunitas. Terkumpul-lah 10 orang yang menamai diri mereka 10 Fine Art tepat di tahun 2004.

Tidak Berhenti Berkesenian Meski Pariwisata Anjlok

Secercah harapan tersebut kembali terpelanting saat situasi kian dipersulit saat pariwisata Bali terpuruk akibat Bom WTC dan Bom Bali. Pariwisata Bali terpuruk. Turis surut, artshop sulit. Bahkan, banyak diantaranya yang tutup. “Tidak seperti kan biasanya turun drastis bisa 12 juta uangnya sudah besar pertahun. Akhirnya kita keluar uang kita buat sendiri. Dalam kondisi keadaan yang buruk kita tetap berkesenian,” tutur Dolar. Dolar besarma teman-temannya kemudian urun dana sebesar Rp.3.000.000 setiap orang untuk menyewa sebuah kontrakkan di daerah Sanur. Kemudian ia melanjutkan untuk urun dana lebih banyak, segalanya diinvestasikan untuk keperluan berkesenian. Lokasi kontrakkan yang tepat dipinggi jalan itupun menjadi tempat bersama untuk memajang karya-karya Dolar dan teman-temannya. “Ya gitulah sepakat kita buka (pameran seni rua), belum hitungan satu minggu, kita sudah membuktikan pertama kali ada lukisan temen kita jual, nah ini kan jelas ada bukti ada semangat bahwa wah ini kita bisa,” ungkapnya. Setiap keuntungan dari hasil penjualan digunakan sebanyak 30% ke komunitas untuk diputar kembali kepada aktivitas berkesenian.

Dolar menjelaskan, mereka hanya menamai kontrakkan itu 10 Fine Art tanpa embel-embel galeri ataupun lainnya. “Karena kita berkarya secara pure seni rupa, tidak seni pasaran apa maunya seniman seni kreatif,” ujar Dolar. Komunitas 10 Fine Art pun membiarkan orang-orang menilai diri mereka. “Yang penting isinya walaupun kita dipinggir jalan, intinya kita memajang karya, tambahnya. Lebih lanjut ia mengungkapkan bahwa lokasi 10 Fine Art pun terbuka untuk seniman lainnya yang ingin memajangkan karya maupun mengadakan pameran dengan tidak memungut ongkos. “Padahal kita kontrak kita kasi free. Karena kita ada komitmen juga di komunitas, bilamana kita mampu kita support dunia seni itu. Tidak hanya kita tapi seniman lain juga,” katanya. Kontrakkan 10 Fine Art itu pun berdiri hingga tahun 2011. Hal ini lantaran berbagai seniman di 10 Fine Art telah banyak yang kian mendunia. Kesibukkan itulah yang membuat mereka memiliki studio masing-masing.

Komunitas Seni Ibarat Bale Banjar

Tidak hanya sebagai tempat memajang karya, 10 Fine Art juga terbuka bagi seniman lainnya yang ingin transit. “Teman-teman seniman yang dari Ubud, main ke Denpasar ke Sanur pasti mampir ke tampat kita,” ucap Dolar. Ia teringat kata-kata seorang senior mengatakan bahwa tempat 10 Fine Art ibarat bale banjer. Dolar mengamini hal tersebut. “Kalau dulu di kampung para petani di sana keluh-kesahnya di bale banjar, cari solusinya di bale balnjar. Yang petani sulit solusinya dicari di sana. Terbuka di 10 untuk diskusi. Karena kita sadar gesekan ini menghasilkan sesuatu. Saling menasehati,” tambahnya. Di dalam komunitas ini, kritikkan saling dilontarkan. Bahkan tergolong kritikkan keras dalam sebuah karya. Namun, Dolar menganggap dinamika tersebut justru hal yang paling membangun kreativitas dan kembali menjadi bersemangat. Hal tersebutlah juga yang membuat mereka terus berkembang dan terus bersama hingga saat ini. Berkomunitas kini membuat mereka hidup dari seni dan menghidupi seni. 10 Fine Art pun kian terbaca di kancah seni rupa.

Menekan Ego

Di sisi lain, tentu dinamika para seniman di 10 Fine Art penuh dinamika. Silang pendapat sangatlah lumrah. “Membuat komunitas langgeng itu penekanan ego sangat penting. Mana urusan pribadi mana urusan kelompok,” ujar Romy Sukadana, seniman 10 Fine Art lainnya yang kala itu menemani Dolar. Kemudian, Dolar menambahkan, mereka tidak pernah mengalami konflik meski kecenderungan seniman memiliki ego yang keras. Keberagaman pemikiran dan karya justru telah menjadi identitas 10 Fine Art. Sebab, kounitas ini sama sekali tidak ingin menyeragamkan karya seni masing-masing, melainkan mewadahi berbagai jenis karya. “Kita buktikan bersama kan itu sebenarnya sangat masuk ke ruang pribadi sekali bagi seorang seniman. Itu buktikan disanalah sehingga kita bisa kolaborasikan satu karya, itu yang menguatkan kita. Artinya menjaga ego masing-masing,” kata Dolar.

Terbukti, beberapa pameran karya seni kolaborasi dengan berbagai gaya seni pun lahir. Dolar teringat ketika di Galeri Ganesha, lukisan 10 Fine Art menjadi karya kolaborasi perdana yang dipamerkan pada galeri tersebut. Saat 2004 juga, misalnya. Ketika awal-awal 10 Fine Art berdiri, mereka membuat pameran yang berisikan lukisan telanjang. Maknanya; ingin memperkenalkan diri secara jujur, tanpa sehelai kain pun. Yang paling berkesan, pameran ini bahkan hingga diliput berbagai media dan stasiun TV nasional. Lebih lanjut, dalam Denpasar Festival, 10 Fine Art juga turut mempersembahkan karya kolaborasi berupa 10 ornamen babi dan karya seni masing-masing memperingati 17 tahun kebersamaan.

Tetap Kukuh menjaga Kebersamaan

Gemilangnya kiprah 10 Fine Art ternyata banyak dilirik seniman lain bahkan dari luar Indonesia. “Dia sampai nyogok lagi disuruh tendang satu orang teman. Enak saja kamu,” cerita Dolar sambil menirukan percakapannya kala itu. Komunitas 10 Fine Art tetap teguh untuk saling merawat kebersamaan. Meski demikian, 10 Fine Art tetap terbuka bagi karya-karya kolaborasi. Misalnya beberapa pameran pernah mengundang satu seniman dari luar komunitas. Di sisi lain, pameran 10 Fine Art pun tak melulu bersepuluh. Kadang hanya berempat dan sebagainya. “Selama ini belum ada berhenti diganti dari awal 10 sampai sekarang tidak menutup kemungkinan untuk kolaborasi,” tambah Romy.

10 Fine Art juga menggunakan dana mereka secara arif dan bijak. Misalnya, mensubsidi pameran tunggal salah satu anggota, maupun memberi santunan kepada salah satu seniman yang mengalami musibah. Dolar kemudian memberi tips kepada para seniman muda. Baginya, semangat berkarya harus menjadi spirit utama. “Jangan berpikir ke finansial dulu nanti kecewanya berat. Berkarya nikmati itu prosesnya itu enjoy life akan menghasilkan dah karya karya indah,” ujarnya seraya tersenyum. Begitulah secangkir kisah Dolar dan 9 seniman seni rupa lainnya di Bali. Kini nama mereka kian melambung dan kian dikenal sebagai maestro seni rupa.

“Saya tidak bisa membayangkan seniman tanpa komunitas. Tidak tahu akan bagaimana. Mungkin teman-teman (10 Fine Art) tidak menjadi seniman. Mungkin tidak bisa menggantungkan hidupnya kepada seni.” ucap Dolar seraya tertawa. Siapa sangka, meski ruang seni rupa yang sangat sulit dan segala situasi di luar kendali manusia, 10 Fine Art menunjukkan ketekunan, kebebasan, kenyamanan selama 17 tahun. Kini, mereka benar-benar dapat hidup dan menghidupi dari seni rupa.

Komitmen Denpasar Festival ke-14 dalam memberi ruang berkreativitas untuk para seniman terimplementasi pada Pameran Seni Rupa Persembahan 17 tahun Kebersamaan 10 Fine Art. Spirit gotong royong kesepuluh seniman ini pun tercermin dalam agenda mulia berupa acara amal untuk para korban letusan Gunung Semeru.

Anggota DPR RI Komisi VI, Rieke Diah Pitaloka bersama Walikota Denpasar, I Gusti Ngurah Jaya Negara menggoreskan cat pada kanvas sebagai simbol resmi pembukaan Pameran Seni 10 Fine Art pada Kamis (09/12).

Pameran seni rupa 10 Fine Art yang terlaksana di Ruang Pameran Gedung Dharma Negara Alaya (DNA) berlangsung penuh spirit gotong royong. Semarak gotong royong berbalut misi kesenian ini sekaligus menjadi 17 tahun lebih peringatan kebersamaan para maestro seni rupa di Bali yang tergabung dalam komunitas seni 10 Fine Art. Kesepuluh seniman itu diantaranya IB Putu Purwa,  Teja Astawa, Apel Hendrawan, Dollar Astawa, Romi Sukadana, Wayan Paramarta, A.A Ngurah Paramartha, Made Budiadnyana, Vinsensius Reru Dedy, dan Anyon Muliastra. Adapun Made Susanta Dwitanaya didaulat sebagai pengantar katalog pameran seni rupa tersebut. 

Rieke Diah Pitaloka memberikan sambutan serta membacakan puisi bertajuk Uang Kepeng dalam acara Pembukaan 10 Fine Art

Pameran yang dimulai pada Kamis (09/12) pukul 18.00 WITA ini, dibuka secara resmi oleh Anggota DPR RI Komisi 6, Rieke Diah Pitaloka dan Walikota Denpasar, I Gusti Ngurah Jaya Negara. Keduanya menggoreskan cat dengan kuas di atas media kanvas sebagai simbol peresmian 10 Fine Art yang resmi dibuka sejak tanggal 9 Desember hingga 23 Desember 2021. Sebelum membuka acara, Rieke yang karib dengan dunia sastra mempersembahkan sebuah puisi yang bertajuk Uang Kepeng, dalam puisi tersebut disisipi aksi amal untuk para korban letusan Gunung Semeru di Jawa Timur. 

Sembari mengelilingi ruang pameran, Rieke pun menyampaikan kekagumannya terhadap karya para seniman dan keberlangsungan pameran saat ini. “Keren banget karya-karya pelukis Bali yang luar biasa,” ujar Rieke. Ia pun menambahkan, meskipun Bali sedang dalam kondisi yang secara ekonomi juga kurang baik sehingga berimbas kepada para seniman Bali. Namun, Rieke kian kagum sebab Bali masih berpikir untuk membuat suatu acara yang bukan hanya sekadar pameran lukisan melainkan turut menambahkan agenda amal sebagai spirit gotong royong dan solidaritas.

Walikota Denpasar turut aktif membantu mengumpulkan sumbangan untuk korban bencana Gunung Semeru

Menanggapi hal tersebut, Wali Kota Denpasar, I Gusti Ngurah Jaya Negara menjelaskan Pemerintah Kota Denpasar telah mengagendakan pameran ini sebelum pelaksanaan Denfest. “Adanya 10 Fine Art artinya Kota Denpasar memberikan ruang kepada pelukis-pelukis Denpasar di Denpasar Festival ini,” ungkap Jaya Negara. Ia pun berharap pameran ini mampu memotivasi seniman di kota Denpasar agar tidak larut dengan masa pandemi Covid-19 ini. Jaya Negara pun menambahkan adanya capaian vaksinasi dan protokol kesehatan yang terjaga diharapkan dapat menguatkan keberanian Denpasar sehingga mampu menghadapi tantangan baru di masa depan.

Kiri: Tampak lukisan salah satu seniman dalam Pameran 10 Fine Art karya I Wayan Paramartha dengan judul Jendela Kita
Kanan: I Wayan Paramartha tatkala ditanya mengenai konsep dan makna dari lukisan yang ia buat.

Salah satu seniman, I Wayan Paramartha yang terlibat dalam 10 Fine Art mengaku telah terbiasa berkecimpung dalam pameran. Uniknya kali ini, ia membawakan tema yang menggambarkan situasi pandemi. “Khusus untuk tahun ini, temanya mengenai pandemi berjudul Jendela Kita, karena selama pandemi kita selalu dirumah dan kebetulan yang saya pakai objek adalah anak saya.” tambahnya. Ia memaparkan bahwasanya karya dibuat bak jendela seolah pergerakan dibatasi atau ada pembatas saat muncul keinginan untuk bepergian keluar rumah. Tidak ada kendala yang cukup berarti baginya karena sebelum mengeksekusi ia sudah merenungkan dalam pikiran. “Semoga untuk kedepannya, kegiatan seni rupa dan seni yang lain dapat ditingkatkan apalagi tempat yang disediakan sudah bagus.” harapnya. 

Sebutlah maestro gitar kelahiran Bali yang dapat bermain musik apa saja di atas panggung, maka I Wayan Balawan jawabannya. Berkiprah selama 40 tahun, Balawan menemukan proses yang paling membentuknya; mendengarkan sekitar. Ia selalu membuka diri pada segala pikiran, energi, perasaan, terlebih suara. Pada tingkat itulah, seorang Balawan kian mendunia.

            “You are what you hear,” ucap I Wayan Balawan, seorang gitaris ternama di Bali itu saat membuka percakapannya. Kala dijumpai di Balawan Training Music Training Centre (2/12), ia akan berlatih memainkan lagu. Memang, kreativitasnya tidak mandeg kendati dihalau pandemi. Seraya memangku gitar elektrik berwarna merah tua dengan sebuah simbol burung garuda yang menempel pada tali, pria yang karib disapa Balawan itu membagikan kisahnya.

            Balawan membingkai ingatan tatkala ia masih duduk di bangku sekolah dasar. Saat itulah, benih-benih minatnya dalam memainkan gitar, tumbuh. “Kakak perempuan saya bermain gitar waktu SMA, teman-temannya sering datang ke rumah kemudian genjrang-genjreng,” ujarnya seraya melirik ke langit-langit studio. Pendengarannya membuat Balawan penasaran. Ia mulai mempelajari gitar sambil bertanya-tanya. Terlebih, ia terus mencari pergaulan yang juga doyan bermusik.

I Wayan Balawan – seorang maestro gitar kelahiran Bali.

Mencari ilmu dalam lingkaran pertemanan ini bagi Balawan sebab akses terhadap referensi musik yang saat itu masih terbatas. “Karena banyak bergaul dengan orang-orang yang suka bermusik jadi saya mencintai musik secara keseluruhan. Jadi tidak terkotak kotak seperti sekarang, saya suka punk, jazz dan pop,” ceritanya. Variasi musik itu memiliki porsinya masing-masing. Semua diselami dengan mendalam. Tujuannya: membangun wawasan musik. Rock, metal, pop, jazz, bahkan dangdut, semua dipelajari Balawan. Pandangannya terhadap musik tidaklah terkotak-kotakkan. Semuanya berjalan seirama. Selain dari lingkaran pertemanan, akses referensi musik juga didapatkannya dengan membeli kaset seharga Rp. 1.100 saat itu. Untungnya, semua jenis musik mudah didapatkan. Berbanding terbalik, kini orang-orang menjual hanya yang sedang hits. “Jadi harus cari sendiri, usaha sendiri,” kata Balawan.

Teguh dan Tekun sedari Belia

            Wawasan musiknya kemudian dipraktikkan Balawan ke dalam permainan gitar. Melihat potensi Balawan saat itu, sang ayah membelikan Balawan gitar akustik pertamanya. “Ya dibelikan gitar pertama banget gitar akustik harganya 25 ribu kelas 4 SD. Kemudian 1986 mulai diberikan gitar elektrik itu harganya 475 ribu itu notanya saya masih simpan,” ujarnya. Tatkala mengingat masa-masa itu, matanya mendadak memancarkan haru. Balawan yang genius dalam bermusik mendapatkan lingkungan keluarga yang mendukung penuh bakatnya.

            Bermodal gitar pemberian sang ayah, Balawan melakukan pentas musik pertamanya saat kelas 5 SD. “Waktu itu saya sudah pentas di sekolah. Kemudian kelas 6 SD sudah nge-band di banjar-banjar,” tambah pria kelahiran Gianyar itu. Saat itu, tidak mudah bagi anak seusianya untuk menjadi mahir. Hanya mereka yang tekun dan teguh hatinya. “Kalau sekarnag umur 8 tahun sudah banyak yang jago-jago,” lanjutnya. Hal ini dikarenakan pesatnya perkembangan teknologi. Orang dapat belajar darimana pun. Sementara dirinya saat itu mengandalkan imajinasi, lebih-lebih tidak sedikit yang justru pelit ilmu. Misalnya, ada kebiasaan unik para gitaris maestro dunia maupun Indonesia; membelakangi penonton saat menggunakan teknik khas gitarnya.  “Jadi mau diapakan gitarnya kita tidak tahu,” ucap Balawan. Sehingga, rajin mendengarkan dari kaset dan bergaul dengan musisi senior menjadi alternatif jalan musiknya.

            Selepas tamat Sekolah Menengah Atas (SMA), Balawan mendapatkan beasiswa untuk belajar musik jazz di Australian Institute of Music, Sidney. “Di sana saya selama 5 tahun, kuliah 4 tahun, pacaran 1 satun,” ujarnya seraya terbahak-bahak. Lingkungan pendidikan musiknya yang bergelimang orang-orang berbakat, membuat Balawan gelisah. Ia harus memiliki target. “Saya ingin berbeda. Saya benar-benar ingin mencari jati diri saya sendiri, karena dari SD sudah main rock, heavy metal,” lanjut Balawan yang saat itu mengagumi gitaris Van Halen. Ternyata, budaya Bali memberi warna bagi musikalitas Balawan. Ia yang tumbuh dengan musik-musik gamelan itu kemudian mengonversikan seni musik Bali pada permainan gitarnya. Ia pun langsung memetik alunan musik panyembrama dari gitar yang dipangkunya sedari tadi. Balawan terus menantang diri mengeksplorasi musik. Tingkatan kesulitan kian tinggi, kian unik. Pantang baginya untuk mandeg. “Kalau saya bermain seperti kebanyakkan orang, saya tidak akan bisa kemana-mana. Jalan di tempat,” ucapnya menatap serius. Ia menyimpulkan, proses eksplorasi inilah yang paling membentuknya, menghayati imajinasi nada dan setiap perpindahannya.

            Balawan kemudian melabuhkan diri pada gitar jazz. Hal ini cocok dengan permainan gitarnya yang penuh dengan spontanitas dan teknik yang rumit. Terlebih, baginya yang haus akan eksplorasi, tingkatan aliran musik dengan kesulitan tinggi dirasa cocok baginya. Balawan menyelipkan kritiknya bagi musikus pemula yang jarang ingin mengetahui musik dari sisi filosofis dan sejarah. Banyak diantaranya yang menempuh jalur pembelajaran dengan mempelajari musik yang sedang viral, namun setelahnya berlompat pada musik viral lainnya. Tidak mengakar. “Kalau kita mau meningkatkan musik, kita mulai memikirkan referensi dan sejarah. Musiknya harus kita ngikutin sejarah musik dunia seperti apa, napak tilas lagi apa sih Beethoven kayak apa sih karya-karya, teknik, komposisi, kompleksnya seperti apa sih,” jelasnya.

            Baginya, orientasi permainan gitar yang bukan berpangkal dari hati bisa jadi penyebab banyak muncul pemusik pembohong. Misalnya, dengan kehadiran fitur editing suara musik gitar hingga lipsing. “Sampai lomba pun saya juri fesival nasional, untuk lomba pun orang ada yang bohong lipsing, gila itu. Orientasinya sudah sekadar menang sekedar eksis itu,” kritiknya. Mengejar views dan viral menyebabkan orang tidak memahami musik secara menyeluruh.

Ditolak berbagai Label Mayor

Meski bakat bermusik sudah mumpuni, tidak mudah bagi Balawan memulai karir. Sepulangnya dari Australia, Balawan mencoba mengadu nasib di Indonesia. Ia membuat hingga beratus-ratus demo lagu. Ada juga beberapa modifikasi lagu. Ketika itu, diterima mayor label adalah sebuah patokan sukses seorang musisi. “Saya lihat di meja orang artist recruitment, ada bertumpuk-tumpuk demo kaset yang belum didengar. Putar dua detik, kadang-kadang 10 detik, tidak menarik dibuang ke tong sampah,” ungkapnya sambil menunjukkan ukuran tumpukkan kaset itu. “Jadi bisa dibayangkan yang bisa masuk mayor label itu orang yang sangat beruntung. Istilahnya, the right time, the right place, the right person-nya,” lanjutnya.

Memainkan gitar – Balawan dengan khas permainan tapping-nya.

Kendati ditolak lima label mayor, Balawan tidak lantas patah arang. “Tidak apa-apa, mungkin saya tidak jodoh. Saya biarkan itu. Kemudian saya fokus lagi main gitar saya main di café-café,” tuturnya. Jalan alternatif itu justru mengantarkan Balawan ke panggung dunia. Ia bertemu banyak turis mancanegara. Beberapa diantaranya merekam permainan gitar Balawan dan menawarkannya untuk mengikuti festival gitar. Balawan akhirnya berhasil meliris album solo gitar pertamanya di Jerman.

Label major yang awalnya menolak pun sebaliknya justru melirik Balawan. Teringat kala itu di tahun 2003, Balawan sedang bermain gitar di sebuah jazz café di Ubud. Seseorang yang dikatakan Balawan sebagai petinggi Sony Music sedang liburan ke Bali menonton pementasan gitarnya. “Dia penasaran, padahal demo saya berapa kali ditolak. Coba kamu cover gaya lagu lawas gaya kamu sedniri. Langsung saya cover lagunya, terus langsung saya taken kontrak,” ungkapnya. Ia sungguh tidak menyangka. Ternyata konsistensi Balawan mendorong semesta untuk membuat momentum baginya. “Kadang kalau memang sudah waktunya ya akan ketemu momennya itu. Kita harus konsisten,” kata Balawan.

Unik dan Konsisten, Jalur Menemukan Momentum

Begitulah seorang Balawan kian dikenal dan mendunia. Sudah puluhan festival musik Internasional disambanginya, seperti East Meet West Gitarren Festival Edenkoben Germany (2000), Open Strings Guitar Festival Osnabrueck Germany (2000), Tour International Guitar Nights in 12 Cities in Germany (2001), Hell Blues Festival in Trondheim Norway September (2001), Hell Blues Festival in Trondheim Norway (September 2005), Tokyo Asia music Market Tokyo Japan (2005), dan lain-lain. Yang paling berkesan, ketika Balawan bermain musik di Norwegia. Permainannya ditonton oleh gitaris Deep Purple, Steve Morse. “Dia bukan hanya menonton, tapi juga menghampiri saya,” ujar Balawan yang kala itu menjadi musisi satu-satunya dari Indonesia.

 “Menjadi terkenal itu adalah efek dari keseriusan dan ketekunan saya,” ucapnya. Ia mengatakan, bermusik bukan pada orientasi, tetapi perkara hati. Bila bermusik beorientasi pada harta dan terkenal, banyak jalan pintas yang akan bermunculan. Balawan mencontohkan, agar lagu cepat terkenal, ia dapat saja menciptakan musik lewat 3 kunci nada saja agar dapat dimainkan dengan mudah oleh publik. “Itulah itu cenderung orang yang orientasi bermusik untuk itu akan mencari shortcut ngapain aku belajar fingering 5 jam sehari. Yang ternyata ngarang lagu 4 kunci saja viewsnya jutaan bisa kaya. Nah itu sudah berbeda,” katanya. Idealisme Balawan kemudian ia kombinasikan dengan ketekunan dan aspek hiburan, alhasil ia pun didaulat sebagai 100 gitaris terbaik dunia versi majalah Rolling Stone.

Melalui eksplorasi musiknya, Balawan kemudian dikenal melalui Touch Tapping Style-nya seraya bernyanyi. Itulah pembedanya dari berbagai gitaris di dunia. “Keunikkan dan konsistensi yang akan menunjukkan hasilnya suatu saat. Long way to the top,” ujarnya menyiratkan senyuman.

Mempersembahkan Musik untuk Sesama dan Semesta

            Balawan jauh dari riuh bermain musik untuk sekadar eksis. Baginya, musik adalah persembahan. “Persembahan untuk orang untuk penonton. Penonton itu baik yang terlihat maupun tidak terlihat. Alam dan Tuhan juga. Itu penting saat saya bermain musik,” ucapnya. Ia mengibaratkan diri sebagai ruang terbuka. Menerima seluruh energi kala ia akan bermain musik. Jiwa dan batinnya menerima apa saja energi yang membiusnya. Tiga detik sebelum bermain gitarlah yang mempengaruhi improvisasi Balawan. “Kalau kita serius mau membuka diri, nanti akan ada frekuensi-frekuensi tertentu ya yang akan mempengaruhi sistem kerja otak kita,” lanjut Balawan.

            Bisa saja tiba-tiba ia teringat masa kecil, bisa pula ingat diperlakukan tidak baik oleh seseorang. Maupun hal kecil seperti mengantarkan ibu ke pasar. Pembukaan dirinya membawa energi apa saja kepadanya. Efek dari hal tersebut yang ingin dicari Balawan agar mempengaruhi permainan musiknya. “Makanya saya itu selalu open. Apapun musiknya saya ingin mendengarkan karena ingin dapet efeknya. Nada itu orang-orang tidak sadari adalah berkah dari kesadaran,” ucapnya.

            Keterbukaan diri juga menjadi hal yang menginspirasi Balawan untuk berkarya. Terkadang, interaksinya justru mendatangkan ide. Menikmati kopi bersama temannya, mendadak Balawan mendapat inspirasi. Ia pun kemudian merekam ide-ide tersebut. Lebih lanjut, telah banyak koleksi gitarnya, bahkan pernah menyentuh angka 80 gitar, banyak diantaranya datang dari pemberian untuk pengiklanan pada dirinya. Sekarang, Balawan bahkan berencana meluncurkan merk gitar sendiri yang dirancang agar tidak menyakitkan jari. Ia pun memang kerap merasakan jarinya sakit setelah bermain gitar. “Ya sakit ya, tapi kalau energi dari eudiens, sakit itu tidak terasa. Nanti sakitnya setelah pulang,” tuturnya seraya tertawa.

            Idealismenya membuat Balawan tidak begitu menentukan jumlah penonton, namun menghargai mereka yang dapat mengapresiasi seni yang disajikan Balawa. “Tidak penting orang nonton mau banyak atau sedikit. Karena seperti saya bilang tadi musik saya itu untuk yang ada yang keliatan yang tidak keliatan. Untuk alam dan persembahan untuk tuhan,” katanya. Ia lebih memilih ditonton lima orang namun mengerti apa pesan dan energi yang disampaikannya tinimbang 500 orang namun tidak memperhatikan permainan musiknya. Ia justru lebih suka ketika penonton juga dapat membuka diri terhadap segala perasaan, pikiran, energi, yang dihantarkan melalui musik Balawan. Misalnya, “Setelah mendengarkan gitar Balawan kok saya jadi lebih sayang sama ibu saya,” katanya. Lain juga halnya jika ia memainkan musik romantis, membuat beberapa orang berpegangan tangan. “Bagi saya musik saya adalah orang yang mau membuka dirinya untuk mendengarkan. Untuk menyelami. Kalau dia tidak membuka diri ya percuma.” Tutupnya. Sang maestro gitar kebanggan Bali itu kemudian memainkan teknik tapping gitar khas ala dirinya seraya bernyanyi sebuah lagu romantis ‘Semua Bisa Bilang’ dari Betharia Sonatha.

“Sekarang apalah artinya cinta,

Kalau hanya di bibir saja,

Cinta itu bukanlah main-mainan,

Tapi pengorbanan…”

Alunan gitar, nyanyian, dan senyuman Balawan yang membuncah menutup perjumpaan hari itu.