Sebutlah maestro gitar kelahiran Bali yang dapat bermain musik apa saja di atas panggung, maka I Wayan Balawan jawabannya. Berkiprah selama 40 tahun, Balawan menemukan proses yang paling membentuknya; mendengarkan sekitar. Ia selalu membuka diri pada segala pikiran, energi, perasaan, terlebih suara. Pada tingkat itulah, seorang Balawan kian mendunia.
“You are what you hear,” ucap I Wayan Balawan, seorang gitaris ternama di Bali itu saat membuka percakapannya. Kala dijumpai di Balawan Training Music Training Centre (2/12), ia akan berlatih memainkan lagu. Memang, kreativitasnya tidak mandeg kendati dihalau pandemi. Seraya memangku gitar elektrik berwarna merah tua dengan sebuah simbol burung garuda yang menempel pada tali, pria yang karib disapa Balawan itu membagikan kisahnya.
Balawan membingkai ingatan tatkala ia masih duduk di bangku sekolah dasar. Saat itulah, benih-benih minatnya dalam memainkan gitar, tumbuh. “Kakak perempuan saya bermain gitar waktu SMA, teman-temannya sering datang ke rumah kemudian genjrang-genjreng,” ujarnya seraya melirik ke langit-langit studio. Pendengarannya membuat Balawan penasaran. Ia mulai mempelajari gitar sambil bertanya-tanya. Terlebih, ia terus mencari pergaulan yang juga doyan bermusik.
I Wayan Balawan – seorang maestro gitar kelahiran Bali.
Mencari ilmu dalam lingkaran pertemanan ini bagi Balawan sebab akses terhadap referensi musik yang saat itu masih terbatas. “Karena banyak bergaul dengan orang-orang yang suka bermusik jadi saya mencintai musik secara keseluruhan. Jadi tidak terkotak kotak seperti sekarang, saya suka punk, jazz dan pop,” ceritanya. Variasi musik itu memiliki porsinya masing-masing. Semua diselami dengan mendalam. Tujuannya: membangun wawasan musik. Rock, metal, pop, jazz, bahkan dangdut, semua dipelajari Balawan. Pandangannya terhadap musik tidaklah terkotak-kotakkan. Semuanya berjalan seirama. Selain dari lingkaran pertemanan, akses referensi musik juga didapatkannya dengan membeli kaset seharga Rp. 1.100 saat itu. Untungnya, semua jenis musik mudah didapatkan. Berbanding terbalik, kini orang-orang menjual hanya yang sedang hits. “Jadi harus cari sendiri, usaha sendiri,” kata Balawan.
Teguh dan Tekun sedari Belia
Wawasan musiknya kemudian dipraktikkan Balawan ke dalam permainan gitar. Melihat potensi Balawan saat itu, sang ayah membelikan Balawan gitar akustik pertamanya. “Ya dibelikan gitar pertama banget gitar akustik harganya 25 ribu kelas 4 SD. Kemudian 1986 mulai diberikan gitar elektrik itu harganya 475 ribu itu notanya saya masih simpan,” ujarnya. Tatkala mengingat masa-masa itu, matanya mendadak memancarkan haru. Balawan yang genius dalam bermusik mendapatkan lingkungan keluarga yang mendukung penuh bakatnya.
Bermodal gitar pemberian sang ayah, Balawan melakukan pentas musik pertamanya saat kelas 5 SD. “Waktu itu saya sudah pentas di sekolah. Kemudian kelas 6 SD sudah nge-band di banjar-banjar,” tambah pria kelahiran Gianyar itu. Saat itu, tidak mudah bagi anak seusianya untuk menjadi mahir. Hanya mereka yang tekun dan teguh hatinya. “Kalau sekarnag umur 8 tahun sudah banyak yang jago-jago,” lanjutnya. Hal ini dikarenakan pesatnya perkembangan teknologi. Orang dapat belajar darimana pun. Sementara dirinya saat itu mengandalkan imajinasi, lebih-lebih tidak sedikit yang justru pelit ilmu. Misalnya, ada kebiasaan unik para gitaris maestro dunia maupun Indonesia; membelakangi penonton saat menggunakan teknik khas gitarnya. “Jadi mau diapakan gitarnya kita tidak tahu,” ucap Balawan. Sehingga, rajin mendengarkan dari kaset dan bergaul dengan musisi senior menjadi alternatif jalan musiknya.
Selepas tamat Sekolah Menengah Atas (SMA), Balawan mendapatkan beasiswa untuk belajar musik jazz di Australian Institute of Music, Sidney. “Di sana saya selama 5 tahun, kuliah 4 tahun, pacaran 1 satun,” ujarnya seraya terbahak-bahak. Lingkungan pendidikan musiknya yang bergelimang orang-orang berbakat, membuat Balawan gelisah. Ia harus memiliki target. “Saya ingin berbeda. Saya benar-benar ingin mencari jati diri saya sendiri, karena dari SD sudah main rock, heavy metal,” lanjut Balawan yang saat itu mengagumi gitaris Van Halen. Ternyata, budaya Bali memberi warna bagi musikalitas Balawan. Ia yang tumbuh dengan musik-musik gamelan itu kemudian mengonversikan seni musik Bali pada permainan gitarnya. Ia pun langsung memetik alunan musik panyembrama dari gitar yang dipangkunya sedari tadi. Balawan terus menantang diri mengeksplorasi musik. Tingkatan kesulitan kian tinggi, kian unik. Pantang baginya untuk mandeg. “Kalau saya bermain seperti kebanyakkan orang, saya tidak akan bisa kemana-mana. Jalan di tempat,” ucapnya menatap serius. Ia menyimpulkan, proses eksplorasi inilah yang paling membentuknya, menghayati imajinasi nada dan setiap perpindahannya.
Balawan kemudian melabuhkan diri pada gitar jazz. Hal ini cocok dengan permainan gitarnya yang penuh dengan spontanitas dan teknik yang rumit. Terlebih, baginya yang haus akan eksplorasi, tingkatan aliran musik dengan kesulitan tinggi dirasa cocok baginya. Balawan menyelipkan kritiknya bagi musikus pemula yang jarang ingin mengetahui musik dari sisi filosofis dan sejarah. Banyak diantaranya yang menempuh jalur pembelajaran dengan mempelajari musik yang sedang viral, namun setelahnya berlompat pada musik viral lainnya. Tidak mengakar. “Kalau kita mau meningkatkan musik, kita mulai memikirkan referensi dan sejarah. Musiknya harus kita ngikutin sejarah musik dunia seperti apa, napak tilas lagi apa sih Beethoven kayak apa sih karya-karya, teknik, komposisi, kompleksnya seperti apa sih,” jelasnya.
Baginya, orientasi permainan gitar yang bukan berpangkal dari hati bisa jadi penyebab banyak muncul pemusik pembohong. Misalnya, dengan kehadiran fitur editing suara musik gitar hingga lipsing. “Sampai lomba pun saya juri fesival nasional, untuk lomba pun orang ada yang bohong lipsing, gila itu. Orientasinya sudah sekadar menang sekedar eksis itu,” kritiknya. Mengejar views dan viral menyebabkan orang tidak memahami musik secara menyeluruh.
Ditolak berbagai Label Mayor
Meski bakat bermusik sudah mumpuni, tidak mudah bagi Balawan memulai karir. Sepulangnya dari Australia, Balawan mencoba mengadu nasib di Indonesia. Ia membuat hingga beratus-ratus demo lagu. Ada juga beberapa modifikasi lagu. Ketika itu, diterima mayor label adalah sebuah patokan sukses seorang musisi. “Saya lihat di meja orang artist recruitment, ada bertumpuk-tumpuk demo kaset yang belum didengar. Putar dua detik, kadang-kadang 10 detik, tidak menarik dibuang ke tong sampah,” ungkapnya sambil menunjukkan ukuran tumpukkan kaset itu. “Jadi bisa dibayangkan yang bisa masuk mayor label itu orang yang sangat beruntung. Istilahnya, the right time, the right place, the right person-nya,” lanjutnya.
Memainkan gitar – Balawan dengan khas permainan tapping-nya.
Kendati ditolak lima label mayor, Balawan tidak lantas patah arang. “Tidak apa-apa, mungkin saya tidak jodoh. Saya biarkan itu. Kemudian saya fokus lagi main gitar saya main di café-café,” tuturnya. Jalan alternatif itu justru mengantarkan Balawan ke panggung dunia. Ia bertemu banyak turis mancanegara. Beberapa diantaranya merekam permainan gitar Balawan dan menawarkannya untuk mengikuti festival gitar. Balawan akhirnya berhasil meliris album solo gitar pertamanya di Jerman.
Label major yang awalnya menolak pun sebaliknya justru melirik Balawan. Teringat kala itu di tahun 2003, Balawan sedang bermain gitar di sebuah jazz café di Ubud. Seseorang yang dikatakan Balawan sebagai petinggi Sony Music sedang liburan ke Bali menonton pementasan gitarnya. “Dia penasaran, padahal demo saya berapa kali ditolak. Coba kamu cover gaya lagu lawas gaya kamu sedniri. Langsung saya cover lagunya, terus langsung saya taken kontrak,” ungkapnya. Ia sungguh tidak menyangka. Ternyata konsistensi Balawan mendorong semesta untuk membuat momentum baginya. “Kadang kalau memang sudah waktunya ya akan ketemu momennya itu. Kita harus konsisten,” kata Balawan.
Unik dan Konsisten, Jalur Menemukan Momentum
Begitulah seorang Balawan kian dikenal dan mendunia. Sudah puluhan festival musik Internasional disambanginya, seperti East Meet West Gitarren Festival Edenkoben Germany (2000), Open Strings Guitar Festival Osnabrueck Germany (2000), Tour International Guitar Nights in 12 Cities in Germany (2001), Hell Blues Festival in Trondheim Norway September (2001), Hell Blues Festival in Trondheim Norway (September 2005), Tokyo Asia music Market Tokyo Japan (2005), dan lain-lain. Yang paling berkesan, ketika Balawan bermain musik di Norwegia. Permainannya ditonton oleh gitaris Deep Purple, Steve Morse. “Dia bukan hanya menonton, tapi juga menghampiri saya,” ujar Balawan yang kala itu menjadi musisi satu-satunya dari Indonesia.
“Menjadi terkenal itu adalah efek dari keseriusan dan ketekunan saya,” ucapnya. Ia mengatakan, bermusik bukan pada orientasi, tetapi perkara hati. Bila bermusik beorientasi pada harta dan terkenal, banyak jalan pintas yang akan bermunculan. Balawan mencontohkan, agar lagu cepat terkenal, ia dapat saja menciptakan musik lewat 3 kunci nada saja agar dapat dimainkan dengan mudah oleh publik. “Itulah itu cenderung orang yang orientasi bermusik untuk itu akan mencari shortcut ngapain aku belajar fingering 5 jam sehari. Yang ternyata ngarang lagu 4 kunci saja viewsnya jutaan bisa kaya. Nah itu sudah berbeda,” katanya. Idealisme Balawan kemudian ia kombinasikan dengan ketekunan dan aspek hiburan, alhasil ia pun didaulat sebagai 100 gitaris terbaik dunia versi majalah Rolling Stone.
Melalui eksplorasi musiknya, Balawan kemudian dikenal melalui Touch Tapping Style-nya seraya bernyanyi. Itulah pembedanya dari berbagai gitaris di dunia. “Keunikkan dan konsistensi yang akan menunjukkan hasilnya suatu saat. Long way to the top,” ujarnya menyiratkan senyuman.
Mempersembahkan Musik untuk Sesama dan Semesta
Balawan jauh dari riuh bermain musik untuk sekadar eksis. Baginya, musik adalah persembahan. “Persembahan untuk orang untuk penonton. Penonton itu baik yang terlihat maupun tidak terlihat. Alam dan Tuhan juga. Itu penting saat saya bermain musik,” ucapnya. Ia mengibaratkan diri sebagai ruang terbuka. Menerima seluruh energi kala ia akan bermain musik. Jiwa dan batinnya menerima apa saja energi yang membiusnya. Tiga detik sebelum bermain gitarlah yang mempengaruhi improvisasi Balawan. “Kalau kita serius mau membuka diri, nanti akan ada frekuensi-frekuensi tertentu ya yang akan mempengaruhi sistem kerja otak kita,” lanjut Balawan.
Bisa saja tiba-tiba ia teringat masa kecil, bisa pula ingat diperlakukan tidak baik oleh seseorang. Maupun hal kecil seperti mengantarkan ibu ke pasar. Pembukaan dirinya membawa energi apa saja kepadanya. Efek dari hal tersebut yang ingin dicari Balawan agar mempengaruhi permainan musiknya. “Makanya saya itu selalu open. Apapun musiknya saya ingin mendengarkan karena ingin dapet efeknya. Nada itu orang-orang tidak sadari adalah berkah dari kesadaran,” ucapnya.
Keterbukaan diri juga menjadi hal yang menginspirasi Balawan untuk berkarya. Terkadang, interaksinya justru mendatangkan ide. Menikmati kopi bersama temannya, mendadak Balawan mendapat inspirasi. Ia pun kemudian merekam ide-ide tersebut. Lebih lanjut, telah banyak koleksi gitarnya, bahkan pernah menyentuh angka 80 gitar, banyak diantaranya datang dari pemberian untuk pengiklanan pada dirinya. Sekarang, Balawan bahkan berencana meluncurkan merk gitar sendiri yang dirancang agar tidak menyakitkan jari. Ia pun memang kerap merasakan jarinya sakit setelah bermain gitar. “Ya sakit ya, tapi kalau energi dari eudiens, sakit itu tidak terasa. Nanti sakitnya setelah pulang,” tuturnya seraya tertawa.
Idealismenya membuat Balawan tidak begitu menentukan jumlah penonton, namun menghargai mereka yang dapat mengapresiasi seni yang disajikan Balawa. “Tidak penting orang nonton mau banyak atau sedikit. Karena seperti saya bilang tadi musik saya itu untuk yang ada yang keliatan yang tidak keliatan. Untuk alam dan persembahan untuk tuhan,” katanya. Ia lebih memilih ditonton lima orang namun mengerti apa pesan dan energi yang disampaikannya tinimbang 500 orang namun tidak memperhatikan permainan musiknya. Ia justru lebih suka ketika penonton juga dapat membuka diri terhadap segala perasaan, pikiran, energi, yang dihantarkan melalui musik Balawan. Misalnya, “Setelah mendengarkan gitar Balawan kok saya jadi lebih sayang sama ibu saya,” katanya. Lain juga halnya jika ia memainkan musik romantis, membuat beberapa orang berpegangan tangan. “Bagi saya musik saya adalah orang yang mau membuka dirinya untuk mendengarkan. Untuk menyelami. Kalau dia tidak membuka diri ya percuma.” Tutupnya. Sang maestro gitar kebanggan Bali itu kemudian memainkan teknik tapping gitar khas ala dirinya seraya bernyanyi sebuah lagu romantis ‘Semua Bisa Bilang’ dari Betharia Sonatha.
“Sekarang apalah artinya cinta,
Kalau hanya di bibir saja,
Cinta itu bukanlah main-mainan,
Tapi pengorbanan…”
Alunan gitar, nyanyian, dan senyuman Balawan yang membuncah menutup perjumpaan hari itu.