Berkenalan dengan Nirartha Bas Dwiwangkara, sutradara yang salah satu filmnya hadir pada program acara Denpasar Sineas Festival pada Minggu (25/12). Sungguh, tak banyak orang seperti Nirartha, ketika kondisi seolah membuat pesimis untuk berkarya, Nirartha tetap percaya bahwa dedikasinya akan selalu membukakan jalan dan peluang. Ini dibuktikan dalam kiprahnya sebagai filmmaker. Dedikasi Nirartha bahkan mengantarkannya ke berbagai festival film nasional hingga internasional. 

Sosok Nirartha Bas Diwangkara atau yang karib disapa Nirartha dan karya filmnya cukup santer diputar di ruang-ruang pemutaran di Bali. Ia kerap menjadi sutradara sekaligus produser kreatif. Kiprah Niratha dibidang film bermula dari hobinya saat masih duduk di bangku sekolah, meluangkan waktunya untuk menonton film hingga lima kali sehari. “Jadi waktu itu jaman SMP bosen gatau mau ngapain dan ingin jadi apa,” ungkapnya ketika dijumpai di sebuah coffee shop pada Selasa (20/12). Intensitas menambah literasi filmnya itu membuat Nirartha kemudian tertarik untuk mengikuti kegiatan volunteer beberapa pemutaran film di Bali. Dari sana, Nirartha kian mendalami minat dan bakatnya dibidang perfilman.

Teringat jelas dalam benarnya, sekitar 10 tahun yang lalu, kegiatan volunteernya itu membuatnya terdorong untuk ikut organisasi film pendek seperti Minikino. “Waktu itu saya juga sambil kerja di kantor, malemnya saya lanjut ikut acara tentang film,” ucapnya mengingat-ngingat. Semakin banyak film yang ia tonton, semakin besar keinginannya untuk berkecimpung dibidang pembuatan film. “Hanya saja masih ada rasa tidak percaya diri, karena setelah menonton banyak film, bukan masalah kita bisa mempraktikkan teknis ya, tapi tujuan kita apa sih pembuatan film itu, jadi kita mau menyampaikan apa,” tutur Nirartha seraya mengulah tangannya. Nirartha kala itu masih merasa bingung apa yang ingin ia suarakan jikalau ia membuat sebuah film. Sementara, ia merasa harus realistis dalam pembuatan film. “Jadi ada pilihan antara komersil dengan tujuan ekonomi atau film sebagai medium untuk berbicara,” tambahnya. Sebagai orang Bali, ada keinginan pesan-pesan yang ingin ia sampaikan terutama memperlihatkan Bali dari sisi selain kemegahan pariwisatanya. “Akhirnya saya memilih belajar di perfilman bukan hanya memahami bagaimana operasikan kamera, tetapi lebih ke pemikiran,” papar Nirartha. 

Pada tahun 2014 ia pun memantapkan jalan yang lebih serius untuk belajar tentang perfilman. “Tapi saya masih ada kerjaan di Bali, akhirnya saya apply beasiswa untuk belajar basic filmmaking di Amerika,” ujarnya. Niatnya itu pun berhasil diwujudkan. Nirartha menempuh studi Digital Media pada program Community College Initiative Program dari American Exchange Foundation dan Fulbright Indonesia di Pierce College selama setahun. 

Setahun belajar dari Amerika  Serikat, Nirartha belajar banyak terutama dalam hal produksi film. “Karena waktu di US belajar tentang accounting, tentang business plan, bahwa ini berkaitan dengan bisnis dan uang, jadi harus realistis,” kata pria yang juga lulusan Fakultas Sastra Universitas Udayana itu. Menimbang hal-hal teknis dan pendanaan, Nirartha sebagai sineas yang tergolong baru berkecimpung, berupaya untuk menjalin kolaborasi antar pegiat film di Bali. Terutama saat ia membuat film berjudul Tergila-gila di tahun 2019. Filmnya tersebut mengangkat sebuah isu sosial tentang konflik batin tokoh utama, seorang remaja di masa pubertas yang memiliki perasaan tak wajar kepada paman si tokoh utama pengidap penyakit kejiwaan ‘schizophrenia’. Di sisi lain, pada saat yang bersamaan juga menyukai salah seorang teman sekelasnya yang dianggap populer. “Cerita ini membuat saya galau. Ingin deh menceritakan tentang ini. Scriptnya jadi, tapi saya ga punya modal,” ucapnya seraya tertawa kecil. 

 

Terbentuknya Komunitas Film Sarad

 

Meski terhalang urusan permodalan. Nirartha pun mengupayakan kolaborasi dengan sesama pegiat film di Bali. Modal gotong-royong lah yang membuat ia kemudian bertemu dengan orang-orang yang membantu mewujudkan cerita filmnya tersebut. “Dari sanalah saya ketemu beberapa teman dan kita membuat komunitas yang bernama FIlm Sarad,” kata Nirartha. Komunitas yang menaunginya ini pun terus berkembang. Seiring pertumbuhan komunitasnya, ia juga menyadari bahwa proses berkarya memerlukan kolaborasi dari elemen kesenian lainnya, seperti teater, animator, hingga ilustrasi. 

Berbagai film pun telah dihasilkan Nirartha dengan kolaborasi yang terjadi dalam komunitas Film Sarad itu. Beberapa filmnya adalah animasi pendek Anak-Anak Milenial (2022) sebagai  produser dan sutradara, film fiksi pendek @itsdekraaa (2021) sebagai produser, dokumenter pendek Di Balik Lukisan Sidik Jari (2020) sebagai produser, film fiksi pendek Angkarayu sebagai asisten sutradara (2019), dan film fiksi Tergila-gila sebagai penulis naskah dan sutradara. Beberapa garapan film juga sedang berlangsung di tahun ini, seperti animasi pendek Temporary Temptation dan Where the Wild Frangapanis Grow. Konsistensi berkaryanya tersebut membuat beberapa film Nirartha mendapatkan penghargaan dalam beberapa kesempatan. Misalnya, film Tergila-gila yang mendapatkan Film Pendek Terbaik di Bali Jani Festival 2019 sekaligus masuk ke dalam nominasi FIlm Pendek Terbaik Festival Film Indonesia di tahun yang sama. 

Nirartha tak payah berkarya. Di tahun ini bahkan Nirartha baru menyelesaikan buku dan web series yang menjadi kesatuan tentang kuliner Bali yang berjudul Warisan Cita Rasa Bali. “Nah kebetulan ini diputar saat Denpasar Sineas Festival, lalu film saya yang lain adalah @Itsdekraa kebetulan saya produsernya, satu lagi tahun lalu saya buat animasi film pendek juga judulnya Anak-Anak Milenial, itu saya juga jadi produser dan sutradaranya,” jelas Nirartha sambil mengingat-ngingat. 

 

Dedikasi: Kunci Agar Tak Payah Berkarya 

Jika dilihat ke belakang, awalnya, Nirartha memang merasa tidak percaya diri. Tetapi, ialah yang justru yakin untuk memulai langkahnya. Baginya, seseorang harus mengetahui dirinya sendiri; ingin melakukan apa dan menjadi apa. Nirartha sendiri dengan lugas mengatakan ia ingin menjadi seorang filmmaker. Keinginannya diiringi dengan dedikasi. “Perlu dedikasi, dedikasi itu menurut saya pelajarin dari diri saya sendiri ketika kita tidak suka dengan apa yang kita kerjakan dan kita yakin dengan apa yang kita mau, itu pasti susah,” paparnya. Oleh karenanya, keyakinan terhadap diri sendiri dan tujuan yang dicapai baginya akan memberikan jalan dan peluang, seperti apa yang telah dialami Nirartha sendiri. Dedikasinya pun diringi dengan langkah kecil untuk mewujudkan apa yang dicita-citakan. “Small steps. Dimulai dari hal yang kecil karena dulu saya ingin hanya hasil tapi tidak dengan proses. Dalam perjalanan, saya akhirnya percaya ternyata proses itu progress, dengan progress kita akan berkembang.” tutupnya. Ia yang ketika dahulu ragu memulai, ingin mengatakan bahwa langkah kecil untuk memulai apa yang dituju sangatlah penting. Nirartha dengan segala karya dan penghargaannya, telah membuktikan prinsip itu. 

Bermula dari kecintaannya terhadap musik sedari kecil, kini Made Mawut berhasil mencipta belasan karya artistik khas musik blues. Uniknya, Made Mawut tak hanya menyenandungkan kalimat elok yang nihil arti, lebih dari itu ia menorehkan ribuan pesan tersirat sebagai simbol keresahan akan berbagai krisis yang menerpa.

Mengawali karir menjadi seorang solois blues pada tahun 2005 silam, I Made Surya Candra atau yang karib disapa Made Mawut seolah tak kering akan ide kreatifnya tentang musik. Hal tersebut, berakar pada hobinya mendengarkan musik dan kian terbawa oleh makna akan musik itu sendiri. “Saya mulai tertarik dan mendalami kenapa orang menyanyikan lagu itu. Kenapa liriknya bercerita tentang hal tersebut, dipelajari, dan dibenahi,” cerita Made Mawut sembari membuka memori masa kecilnya saat itu. 

Bob Marley, seorang musisi tersohor di dunia reggae merupakan tokoh inspiratif dari Made Mawut. Dirinya mengungkapkan bahwa ia telah mengoleksi lagunya sedari kecil dan menyatakan kegemarannya terhadap Bob Marley. “Saya menggemari beliau dari kecil. Karyanya bercerita tentang freedom, saya tertarik kenapa dia bercerita tentang kebebasan,” ungkapnya. Selain itu, karena mengenal distributor kaset dan sering bercerita mengenai musik, sehingga pada akhirnya Made bertemu dengan genre blues yang kini menjadi aliran musik favoritnya.  Kemudian, karena sempat bersekolah di Hawaii semakin memantapkan pengenalan Made akan musik blues. 

Lebih lanjut, Made bercerita bahwa menjadi seorang musisi merupakan hal yang asik dan bebas, “Jadi musisi itu enaknya terus deket sama anak, karena kita kerja malam, dari pagi sampai sore bisa terus mengawasi anak. Kebanyakan bagusnya sih, asik dan bebas, karena itu tujuan kita, seperti sudah passion aja,” jawab Made dengan lugas. 

Kupas Ironi Kehidupan Melalui Musik

Beragam karya ciptaan Made Mawut telah berkumandang di kanal musik lokal hingga nasional. Musik berlirik bahasa Indonesia dengan instrumen sederhana, beserta karakter vokal khas yang terasa begitu matang berhasil mengantarkan Made untuk merilis belasan karya yang tersirat makna kuat di dalamnya. Dalam karyanya, Made Mawut menyampaikan berbagai keresahan akibat krisis multidimensi yang dikemas menjadi alunan lagu dan didampingi dengan gitar akustik miliknya, seperti persoalan politik, lingkungan, serta pendidikan. “Terinspirasi dari pengamatan sehari-hari tentang bagaimana ketidakadilan yang menimpa kita, itu diperdalam dengan kasus yang lebih dekat,” begitu Made Mawut menyikapi sebuah krisis menjadi alunan lagu. 

Salah satu contoh karya Made Mawut yaitu lagu berjudul “Blues Kamar Mandi” yang menceritakan tentang keserakahan manusia dalam penggunaan air tanah yang berlebihan untuk megaproyek dan kepentingan perusahaan besar, sehingga di rumah tangga tidak jarang mengalami yang namanya kekurangan air. “Krisis air itu kan sistematis sekali dan penggunaan air tanah yang berlebihan oleh perusahaan besar, sehingga akibatnya besar untuk di rumah tangga seperti air keran ngadat,” ungkap Made Mawut. 

Blues – Made Mawut, seorang solois yang mewarnai genre musik blues di skena musik Denpasar

Selain itu, dengan bahasa khas yang cantik nan menggelitik, Made Mawut telah resmi menyelesaikan kedua albumnya yang bertajuk Blues Krisis dan Merdeka 100%, serta kini Made Mawut sedang menggarap album ketiganya di tengah naungan label Pohon Tua Cratorium dan diproduseri oleh Dadang Pranoto. Dirinya turut mengungkapkan bahwa sebagian besar lagunya adalah bagian dari curahan hatinya, “Tentu itu bagian dari curhat, pesannya tentu mengajak kita untuk bersama-sama untuk peduli dengan persoalan yang ada,” tambahnya. 

Jalinan Kolaborasi Musik

Selain asik menjadi seorang solois blues, Made Mawut juga kerap menggandeng beberapa musisi dalam penggarapan karyanya, seperti Dadang Pranoto gitaris Band Navicula, Nosstress, Endah Widiastuti, Fendy Rizk, Truedy, Palel Atmoko, hingga Kaka Slank. Dengan menyajikan lagu termutakhirnya, Made bersama Kaka mulai mengawali kolaborasinya dengan menyanyikan lagu berjudul “Lingkaran Setan” yang dapat disaksikan melalui kanal Youtube pribadi Kaka. “Awalnya menurut Kaka memang mengikuti dari album pertama saya. Terus mulailah kita sapa-sapaan di media sosial, dan kebetulan dia sedang ke Bali, lalu saya diajak duet membawakan lagu saya yang dia suka,” cerita Made ketika menerima tawaran kolaborasi dari Kaka. 

Kolaborasi – Giat kolaborasi Made Mawut bersama Kaka voklalis Band Slank yang menyanyikan lagu “Lingkaran Setan” di kanal Youtube Kaka

Bukan tanpa alasan, lagu tersebut Kaka pilih dikarenakan nilai yang terkandung dalam lagu tersebut sangat dalam yaitu mengenai dunia pendidikan di Indonesia. “Dia pilih lagu itu karena memang sistem Pendidikan di Indonesia gitu-gitu aja dari dulu. Kurikulum berubah tetapi belum klop dikuasai pengajar dan sudah ganti lagi, sehingga harus terus mulai lagi dari 0. Dampak ke murid juga dituntut untuk cepat, sehingga belum jelas apa yang kita dapat, pengalaman saya seperti itu,” cerita Made.

“Lulus SMA,

lanjut kuliah jadi cindra mata, 

Sarjana, 

Robot tak bernyawa, 

Lingkaran setan pendidikan selalu begitu sampai sekarang” 

Begitulah sekilas lantunan lirik karya Made Mawut yang sederhana tetapi rekat akan makna.

Lebih lanjut, kolaborasi Made dan Kaka Slank berhasil mengeluarkan single berjudul “Arak Steady Blues” pada akhir September 2022 melalui kanal Youtube. Karya tersebut menyimpan ironi letihnya pengrajin arak dalam proses produksi, tetapi tidak sebanding dengan hasil yang mereka dapat. “Sebuah kebanggaan jika karya kita diapresiasi oleh artis besar,” ungkap Made ketika ditemui pada Sabtu (17/12). 

Bersua Menyapa Pecinta Musik Blues di Denpasar Festival

Sebagai musisi asli Denpasar yang menyanyikan karyanya dengan penuh perasaan disertai teknik petikan jari khas blues pada gitar miliknya mendorong Made diundang untuk tampil di banyak pemanggungan yang ada, seperti di daerah Canggu, Pererenan, Uluwatu, hingga pada beberapa festival, Denpasar Festival salah satunya. Tampil di Denpasar Festival (Denfest) bukan kali pertama bagi Made, dirinya dari tahun ke tahun kian eksis menyemarakkan perhelatan akhir tahun ini. 

Made mengungkapkan bahwa tahun ini dirinya akan membawakan sekitar lima karya terbaiknya ke khalayak ramai. “Saya baru mengeluarkan single, nah itu akan saya bawa. Rencana akan mengeluarkan single juga dekat-dekat ini akan saya bawakan juga. Tetep ada lagu lama juga yang saya bawa,” ungkap Made dalam menjelaskan karya yang akan ia bawakan. 

Tidak hanya itu, Made juga mengungkapkan kegembiraannya karena pada tahun ini Denpasar Festival hadir secara luring, “tahun ini bisa jadi lebih semarak karena melihat orang banyak yang berlalu-lalang, beda rasanya,” ungkap Made.  Selain itu, Made turut berharap agar tempat kreatif terus hidup dan berkembang di Denpasar agar skena musik di Bali tidak sirna tergerus zaman.

Jangan lupa saksikan alunan musik blues karya Made Mawut di Denpasar Festival ke-15!

Panggilan berkreativitas telah mendasari sebuah kelompok untuk kokoh berdiri di tengah arus perubahan masyarakat. Naluri Manca, hadir dan merekah menyebarkan tradisi dan modernisasi yang berjalan beriringan menuju sebuah adaptasi. Tak payah mengenalkan berbagai kreasi dalam persembahan seni pertunjukan dari Bali, untuk Indonesia dan seluruh dunia. 

 

Manusia dalam bertindak tak luput dari dorongan motivasi yang mengantarkan mereka ke sebuah perjalanan dalam menemukan jati diri. Begitu pula dengan seni yang telah mendarah daging dalam tubuh manusia dan seolah memanggil sosok-sosok yang siap menjawab panggilan tersebut. Naluri Manca, sebuah komunitas seni hadir di tengah masyarakat Kota Denpasar sebagai bentuk panggilan hati, bergerak menyediakan ruang kreatif bagi anak-anak muda dalam mengasah pemikiran dan kemampuannya dalam bidang seni dan budaya. 

Naluri Manca dimaknai sebagai simbolis kekuatan psikis alam bawah sadar dan berpadu dengan lima unsur penjuru mata angin. Makna ini direpresentasikan melalui lima sosok kreatif dibalik pencetus komunitas seni ini. Ialah  Ida Bagus Eka Haristha, Adhis Putra Kencana, I Nyoman Agus Triyuda, Putu Prama Kesawa, dan Kevin Dian Muliarta yang memulai kolaborasi seni mereka di Naluri Manca. 

Pencetus – Lima sosok kreatif sebagai pencetus berdirinya komunitas Naluri Manca

Pemikiran yang berbeda justru menjadi peluang berkreasi bagi Ida Bagus Eka Haristha, yang kerap disapa Gus Eka, kala ditemui pada Rabu (7/9). “Saya waktu itu berpikir seperti ini, suatu ruang yang tercipta dengan adanya komunitas ini kita bisa berkolaborasi dan membuat suatu karya yang lebih kreatif lagi karena kita bisa lintas disiplin ilmu. Itu terpikir ide dari saya, kemudian saya mengajak teman-teman, lalu mereka sepakat membuat itu (Naluri Manca -red),” ujarnya bercerita. 

 

Mengemas Seni dalam Beragam Segmen 

Setelah berkomitmen untuk mendirikan Naluri Manca, mereka tak pernah jemu untuk tetap luwes beradaptasi dengan perubahan zaman. Naluri Manca turut mengembangkan komunitasnya untuk dapat terus bersaing menjawab tantangan global sehingga kian eksis. Gus Eka memandang, Naluri Manca dari segi karya lebih kepada seni pertunjukkan dan mengembangkan karya seni glow in the dark sebagai identitas pertunjukkan seni mereka. 

Lebih lanjut, seni pertunjukkan Naluri Manca pun terbagi dalam segmen kesenian lainnya, seperti seni tradisi, seni religi, seni kontemporer, seni modern dan inovatif, kolosal, dan maih banyak lainnya. “Jadi seni tradisi kita pandang sebagai pakem dan modal. Modal tersebut bisa kita kembangkan ke dalam sisi bisnis hingga dari segi karya. Kalau dari segi karya, jika ada modal tradisi, kita bisa mengembangkannya menjadi karya kolaborasi tanpa merubah pakemnya,” lanjut Gus Eka menjelaskan.

Karya – Salah satu karya Naluri Manca yang ditampilkan di depan khalayak

Ke-luwes-an prinsip berkarya Naluri Manca lah yang membuat mereka dapat menaungi berbagai minat dan bakat generasi muda dalam berkesenian dan ingin mengemaskan dalam berbagai segmen kesenian. Alasan itulah pula yang membuat Naluri Manca terus bertumbuh semenjak didirikannya pada dua tahun yang lalu. “Komunitas di bawahnya ada kepala bidang, di bawah kepala bidang ada bidang, bidang dibagi menjadi lima, bidang partnership sistemnya dia yang ke eksternal, bidang edukasi sebagai knowledge, ketiga ada SDM, industri kreatif yang merupakan nafas Naluri Manca, kelima ada kominfo,” tutur Gus Eka.

Bidang-bidang yang diciptakan oleh kelima sosok inspiratif tersebut bagi mereka merupakan salah satu cara untuk menunjukkan bahwa seni dapat dinikmati dalam berbagai bentuk, baginya seni tidak hanya melulu perihal pertunjukan tetapi juga dapat dikemas dalam berbagai produk lain yang tak kalah menarik seperti buku, majalah, hingga pameran. 

 

Giat Menjaring Anak Muda dari Berbagai Elemen 

Komunitas seni yang kini telah beranggotakan 70 orang tersebut diwarnai dengan anak-anak muda dari berbagai elemen. “Untuk sekarang ini dari inti, pengurus ada 20 orangan tapi secara general kami ada 70 orang. Itu kalangan SMA ada, kalangan kuliah juga ada, dan kalangannya semua beda-beda ada akunting, ada administrasi, ada sastra Indonesia, anak SMK, teruna teruni, bahkan mayoritas anak tari sedikit karena saya lebih proper ke orang yang organisasi,” ucap Gus Eka. 

Komunitas – Naluri Manca sebagai salah satu komunitas yang giat menjaring anak – anak muda untuk bersama berkarya di dalam komunitas

Sumber daya  manusia merupakan salah satu unsur penting bagi Naluri Manca, tak hanya dari fokus kesenian saja, komunitas ini membuka secara lebar anak-anak muda dari berbagai elemen yang sama-ama memiliki minat dalam mengembangkan sebuah kesenian. Hal tersebut turut menjadi penggait minat generasi muda bahwa budaya merupakan milik semua orang. Tak hanya berasal dari peminatan seni belaka, tetapi juga diisi oleh berbagai elemen orang-orang dengan keahliannya masing-masing.  

“Kalau saya menarik orang seni di Naluri Manca pasti yang lain semakin tidak terjangkau, ketika SDM yang ada di Naluri Manca itu seniman saja otomatis yang lain tidak terjangkau, saya tidak mau mencapai hanya satu circle saja, yang gak bisa nari dia bisa berjualan yang bisa nari dia bisa sebagai pekerja, terus yang kreatif buat ogoh-ogoh atau teknologi dia bisa menjadi industri kreatifnya,” imbuhnya.

 

Ukir Prestasi, Harumkan Nama Bali

Bergerak melalui visi “Merakit untuk bangkit melalui spirit penggalian, pelestarian, pengembangan seni budaya lokal hingga ke mancanegara” turut mengantarkan Naluri Manca untuk melenggang di kancah regional, nasional, hingga internasional. Hal tersebut dibuktikan melalui penampilannya pada salah satu ajang pencarian bakat, Indonesia Got Talent tahun 2022 dengan usia yang masih terbilang belia. “Ketika di Indonesia Got Talent itu gak gampang, dalam waktu seminggu kita berpikir dan berembug. Kemudian, kita tertarik dengan konsep glow in the dark, dan eksplorasi bentuk serta koreografi,” ungkap Gus Eka. 

Kreasi – Salah satu kreasi tari dengan konsep “Glow in The Dark” yang ditampilkan oleh Naluri Manca

Selain itu, ratusan karya telah ditampilkan oleh Naluri Manca melalui beragam pemanggungan. Kolaborasi dilakukan untuk mengenalkan karya Naluri Manca sekaligus mengharumkan nama Bali di khalayak ramai. “Kolaborasi selalu kami lakukan, kemarin komunitas bersama Diki Ariana di tahun 2019 tentang baleganjur, tahun 2020 kita buat acara Jayabaya sebagai tanda bangkit dari keterpurukan, serta ada komunitas Taksu Agung, komunitas film juga. Banyak komunitas yang tidak cuma di bidang seni aja,” ujar Gus Eka. 

Lebih lanjut, Naluri Manca telah mengukir prestasinya di tingkat internasional dengan tampil di Negeri Kangguru, Darwin, Australia melalui virtual show bertajuk World Heritage Convention (WHC). “Kami ingin mengenalkan Naluri Manca di kota Denpasar, mengenalkan denpasar di Bali, Bali di Indonesia, dan Indonesia  di luar negeri. Itu salah satu visi kami. Sementara ini, kita sudah di tahap 4,” ucapnya. 

 

Naluri Manca dalam Cahaya Keindahan Denpasar Festival ke-15  

Kompetensi dan kesungguhan berkarya Naluri Manca juga dicurahkan ke Denpasar Festival ke-15 yang akan digelar pada 21-25 Desember 2022. Bagi Gus Eka, persiapan konsep yang matang menjadi salah satu pertimbangan untuk setiap pertunjukan yang ditampilkan oleh Naluri Manca. Pemilihan elemen dan unsur yang melengkapi setiap pertunjukkan pun tak luput agar menambah suasana magis dan indah gerak tari kontemporer yang akan ditampilkan oleh komunitas tersebut. Lebih lanjut, kepekaan terhadap situasi audiens menjadi pertimbangan utama dalam pemilihan genre dan penyusunan konsep ini. 

“Jadi kalau mau idealis, kontemporer, maupun tradisi, semua ada ruangnya masing-masing, tapi kalau kebutuhan lainnya kita harus lihat juga yang akan nonton itu kalangan apa, baru kita berani menentukan mau bawa karya apa, supaya lintas disiplin ilmu tetap jalan secara pemahaman maupun edukasi,” tegasnya dalam menjelaskan pemilihan karya sebelum pertunjukan. 

Khusus penampilan di Denpasar Festival ke-15, Gus Eka mengaku komunitasnya sangat bersungguh-sungguh untuk mempersembahkan karya mereka. “Konsep saya ingin habis-habisan di sana, kebetulan Denfest merupakan suatu ruang dimana masyarakat kita, kawula muda khususnya, ada di sana. Saya ingin mengangkat tentang air dan udara, karena tema dari Denfest itu Tejarasmi, cahaya keindahan,” jelasnya. Cahaya keindahan dimaknai olehnya sebagai sebuah siklus alam tentang langit dan lautan yang memiliki kedudukkan yang sama. “Di dunia laut ada cahaya, di langit ada cahaya, malam hari juga ada cahaya, mereka memiliki porsi yang sama,” lanjutnya. 

Ida Bagus Eka Haristha – Salah satu pelopor Komunitas Seni Naluri Manca semenjak tahun 2020

Gus Eka turut menyampaikan harapannya akan perkembangan Naluri Manca serta seluruh generasi muda yang nantinya akan meneruskan jejak kesenian di Bali. “Saya punya satu cita–cita, pertama saya ingin Naluri Manca berkembang besar, hingga bisa membuka lapangan pekerjaan untuk generasi muda, terkhusus anak – anak seni, saya tidak menutup kemungkinan adanya stigma kalau latar belakang seni susah mencari lapangan pekerjaan, saya ingin mematahkan asumsi itu dengan cara membuat ekonomi kreatif yang memang produknya seni semua. Dan, saya yakin seni akan memajukan ekonomi kreatif kita,” ucapnya.  

Sinergi dalam menciptakan ekonomi kreatif akan memberi nilai dan menghidupkan seni yang ada di Bali. Oleh karenanya, bagi Gus Eka, generasi muda tidak perlu takut untuk menekuni jalan kesenian. Kuncinya, tetap ikuti kata hati. Sebab, “Bukan seni yang bergantung kepada pariwisata, tapi tempat wisata kita yang bergantung kepada seni, jika tidak ada budaya tidak ada seni apa yang mau dijual, itu yang membuat Bali mempunyai nilai.” tutup Gus Eka pada sore itu. Kisah dan kiprah Naluri Manca menjadi bukti komitmennya untuk terus tumbuh menjadi komunitas seni bertalenta di Kota Denpasar. Jangan lewatkan kemeriahan persembahan karya seni oleh Naluri Manca di Denpasar Festival ke-15 tahun 2022. 

Hermy Wirawan, pemilik LV CnC sebuah pelatihan dan agensi model di Bali

“Saya bertanya kepada diri saya sendiri apa sih sebenarnya yang saya suka itu. Akhirnya saya dalam hati ngomong kayaknya sukanya dibidang entertain,” tutur Hermy Wirawan. Bagi pria yang kini mengelola LV CnC, sebuah pelatihan dan agensi model di Bali hingga event organizer. Melalui kata hati, Cece kian mendalami diri termasuk mencintai karir yang dipilihnya saat ini.

Bekerja sesuai passion (gairah) kerap diperbincangkan belakangan ini. Pasalnya, beberapa orang berasumsi bahwa bekerja sesuai passion kerap menemui hambatan dari segi keseimbangan capaian materi atau finansial hingga keseimbangan waktu bersama keluarga. Namun, hal itu tak berlaku bagi Hermy Wirawan. Pria yang akrab disapa Cece ini senantiasa mengikuti kata hatinya ketika menyangkut hal karir, karya, dan dedikasi. 

Kecintaan Cece terhadap dunia pelatihan modelling hingga manajemen talent bertumbuh ketika dirinya duduk di bangku sekolah menengah atas. Alumni SMA 1 Denpasar menuturkan, semasa SMA dirinya kerap terlibat dalam perhelatan berbagai acara. “Sebenarnya basic-nya di entertain ya, jadi waktu dulu itu memang hobinya karena dulu waktu SMA ikut organisasi, jadi kalau ada acara sekolah gitu dilibatkan untuk meng-organise acara itu,” tutur Cece sembari tertawa lepas. Semakin sering Cece terlibat dalam kegiatan di sekolahnya, rutinitas itu pun menjelma menjadi hobi dan gairah pekerjaan idamannya, yaitu pemilik Talent and Modelling Management seperti saat ini.

Sempat tak Mendapat Restu

Bukan perkara mudah mendirikan LV CnC hingga seperti sekarang. Sejak berdiri pada tanggal 15 November 2000, pria yang menempuh pendidikan tingginya di Jurusan Bisnis Marketing, Universitas RMIT Melbourne, Australia ini terlebih dahulu mencari rekan sejawat hingga meyakinkan kedua orang tuanya akan pilihannya. Setelah meyakinkan dirinya untuk berhenti bekerja di sebuah bank, Cece pun mulai mencari rekan sevisinya. “Akhirnya sama temen-temen ada beberapa juga yang mau coba dibidang entertain, kita sempat ngobrol bareng gitu, akhirnya ayok kita dirikan event,” jelas Cece mantap. 

Diskusi bersama rekan sevisi berjalan mulus, tetapi kedua orang tua Cece tidak merestui keputusannya untuk meninggalkan karirnya di bank yang baru seumur jagung. “Dulu setelah tamat kuliah itu memang penasarannya sih ya dibidang banking, jadi coba apply disana terus keterima. Akhirnya disana sekitar satu setengah tahun, setelah itu resign langsung,” paparnya sembari tertawa lepas. Selama dua tahun, Cece membangun LV CnC tanpa pelengkap restu kedua orang tuanya. Namun, satu hal yang ada dipikirannya, pembuktian adalah jalan satu-satunya untuk mencuri hati kedua orang tuanya.

LV CnC dan tim, sumber dokumentasi pribadi Hermy Wirawan

Awal meniti usaha, Cece dan rekan-rekannya mendapat panggilan untuk mengurus acara gathering. Kala mendapat kepercayaan dari klien, nyatanya sang klien kala itu juga membutuhkan pengisi acara seperti penari, model, dan masih banyak lagi. Sehingga sejak saat itu LV CnC berkembang ke ranah yang lebih luas mencakup pengisi acara gitu. Sejak saat itu Cece dan rekannya mulai mencari dancer, model, dan lainnya. Sehingga, semula LV CnC hanya mewadahi 5 model, kini menjadi ratusan model. 

Suka Duka, Sahabat Bersama

Suka selalu bersahabat dengan duka dalam kehidupan. Itulah yang turut disadari Cece selama berkarir dan berkarya. “Jadi kita melibatkan banyak orang, jadi setiap orang punya karakter beda-beda itu, kayak menyamakan satu visi dan suara gitu kan, ya tapi memang harus sabar sih,” terang lelaki yang kini turut mengelola bisnis pie susu milik kedua orang tuanya. Tak hanya itu, selama menggarap suatu acara, Cece turut mewanti-wanti agar meminimalisir keterlambatan selama gladi resik. Sehingga, Cece dan tim intinya yang berjumlah empat orang mengungkapkan butuh jiwa kepemimpinan dan manajemen waktu yang baik agar tidak mengecewakan klien.

Meskipun demikian, Cece tetap merasa bahagia menghidupkan LV CnC bersama tim dan juga para talentnya. Banyak hal berkesan yang membuat Cece semakin cinta dengan karir yang dipilihnya. “Paling berkesan itu model-model kita bisa berkarir di nasional itu yang kita paling suka,” ujar Cece. Kesan bahagia itu pun tak terlepas dari sejarah penamaan LV CnC yang semula hanya CnC saja. Sulung dari empat bersaudara ini pun mulai mengudar kenangannya. Kala itu, lima tahun yang lalu CnC berkesempatan menjalin kerja sama dengan model agency di Jakarta yaitu Luv Management. Management tersebut mengajak bergabung dan CnC pun hingga kini dapat melenggang luas ke jenjang nasional. 

Poster audisi ajang Indonesia Next Top Model di Bali

Kepak sayap CnC pun mencapai puncaknya pada tahun 2020 lalu, “kemarin kita sempat handle audisi Indonesia Next Top Model,” ungkap Cece. Kepercayaan yang diberikan oleh acara ternama, Indonesia Next Top Model (INTM) untuk melaksanakan audisi pemilihan model se-Bali membuat Cece bahagia dan kian bersemangat. Tak hanya itu, yang paling berkesan juga show dengan desainer dari Australia pada tahun 2017.

Fashion Show di Denpasar Festival, Mimpi Jadi Nyata

Keterlibatan LV CnC dalam Denfest ke-14 adalah kali pertama. Sebelumnya, hanya para model LV CnC yang bernaung dalam Duta Endek yang terlibat dalam fashion show. “Ikut Denfest langsung terjun baru tahun ini, tetapi yang tahun sebelumnya model kita ikut di Denfest karena beberapa model kita juga ada yang bergabung di Duta Endek,” ungkap Cece. Baginya kesempatan ini adalah sebuah mimpi yang menjadi nyata, “dream come true.” Ia semakin bahagia karena kesempatan ini diberikan di tengah masa sulit Pandemi Covid-19. 

Pada saat diwawancarai pada 1 Desember 2021 lalu, Cece menjelaskan bahwa persiapan para modelnya menjelang Fashion Show Denfest sudah mencapai 80 persen. Secara rinci, LV CnC melibatkan 8 model pada tanggal 11 Desember dan 10 model untuk tanggal 15 Desember. Adapun desainer yang terlibat merupakan desainer asli Denpasar. Fashion show semakin menarik bagi Cece karena akan berlangsung di Tukad Bindu.

Pada akhirnya, Cece berharap agar anak muda jangan pernah menyerah kalau sudah mendalami satu bisnis. “Lebih baik di fokuskan ke satu hasilnya mungkin tidak akan pernah maksimal atau mulus, selalu ada sesuatu hal mungkin itu yang akan memotivasi kita lebih baik kedepannya,” papar Cece. Cece pun turut berpesan untuk Denpasar Festival agar terus berjalan dan jangan pernah berhenti.

Ni Ketut Arini, tersenyum cerah penuh semangat muda

Menua adalah garis tangan yang harus diterima setiap makhluk hidup di dunia ini. Namun, selamanya muda adalah pilihan yang tidak semua orang mampu untuk mewujudkannya, tetapi Arini berbeda. Jiwa mudanya selalu mengalir dalam nadi, mendetak jantung, dan menghidupkan dunia tari Bali.

Derap langkah kakinya perlahan pasti menuju lemari kayu tua dengan cermin seukuran tubuhnya. Ketika bercermin, wanita itu memerhatikan dengan cermat kostum tari yang ia kenakan. Perlahan kedua tangannya yang tampak keriput mengambil gelungan (hiasan kepala untuk menari Bali) dan mengenakannya sembari bercermin sekali lagi. Hampir dua jam wanita itu menari di depan kamera. Usai pengambilan gambar dirinya, kala sang waktu menunjukkan pukul 17.00 WITA, Ni Ketut Arini, rehat, melepas gelungannya dan membuka obrolan senja hari dengan manisnya nostalgia.

Pengelanaan ingatan masa lalunya, berlabuh pada lingkungan keluarga yang menghidupkan hasratnya untuk menari. Arini begitu ia akrab disapa menuturkan satu keluarganya adalah seniman. Ayah Arini, I Wayan Sapluh adalah seorang guru penabuh gamelan. Sang ibu, Ketut Samprig gemar mekidung (melantunkan tembang Bali), dan pamannya yakni Wayan Rindi, adalah penari sekaligus guru tari Bali terkenal dimasanya. “Jadi saya waktu kecil itu melihat paman saya menari, mengajar di sanggar tari dan saya waktu itu ikut mengajar,” kenang Arini.

Darah seni yang mengalir, membuat Arini merasakan kebahagiaan tatkala dirinya pertama kali menari di depan umum saat menginjak kelas 3 Sekolah Dasar (SD). “Kelas 3 SD saya menari pertama, paling bahagia dalam hidup saya karena saya ingin sekali menjadi penari,” tutur Arini bahagia. Semakin hari semakin sering Arini menari, membuat wanita kelahiran 15 Maret 1943 ini bersemangat untuk melatih kedua adiknya menari sebagai pengalaman awalnya mengajar. 

Pada usia 14 tahun, Arini pun secara resmi mendapat kepercayaan dari sang paman untuk bersama-sama berkeliling mengajar tari Bali. Arini pun menirukan penuturan pamannya yang selalu membimbingnya. “Tut sudah bisa jadi guru, tapi ini diperbaiki, ini harus diperbaiki. Jadi terus saya diajari untuk memperbaiki kesalahan penari, itu yang menarik sekali karena setelah itu saya lebih bagus jadi gurunya,” papar wanita yang melabuhkan Condong sebagai tari pertama yang dipelajarinya. 

Masa muda Arini tak hanya diwarnai dengan menari, wanita asli Denpasar ini pun tetap berkonsentrasi mengenyam bangku pendidikan. Selepas menamatkan SD di Sekolah Rakyat Kesiman dan Sekolah Rakyat Sumerta, Arini melanjutkan pendidikan menengah pertamanya di SMP Dwijendra. Masa putih abu-abunya ia habiskan di Sekolah Konservatori Kerawitan Indonesia Jurusan Bali (Kokar Bali). 

Begitu lulus dari Kokar Bali, Arini langsung didapuk sebagai pengajar tari di Kokar Bali. Ambisi dan rasa cintanya mempelajari tari Bali pun memantapkan diri Arini untuk meraih gelar sarjananya Akademi Seni Tari Indonesia Denpasar. Pengabdiannya menjadi pahlwan tanpa tanda jasa dengan Kokar terpaksa harus terhenti ditahun 1996 karena dirinya dipercayai sebagai tim pengawas SMK se-Bali.

 

Tari Bali, Teman Menjelajah Dunia

Kemampuan tarinya yang mumpuni, disisipi pula dengan kemampuan Bahasa Inggris yang lumayan, menjadikan Arini terpilih untuk menari ke Filipina pada tahun 1965. Ia mengaku amat terkejut, sebab saat dirinya kembali ke tanah air tercinta, dirinya sudah muncul diberbagai koran. 

Ni Ketut Arini bersiap-siap untuk rekaman adegannya menarikan Topeng Galuh

Sejak saat itu, ibu dari 4 orang anak ini acap kali ke luar negeri. Penjelajahan Arini pun berlanjut ke negeri sakura yang ia lakukan pada tahun 1973. Arini berangkat bersama 5 orang. Bukan dengan sejentik jari Arini langsung melenggang ke Jepang, terlebih dahulu ia dan penari lainnya diuji oleh Listibya (lembaga pembinaan kesenian di Bali). 

Penjelajahan Arini dengan tari Bali, terus berlanjut. Pada tahun 1983 ia menjelajah negara-negara di benua Eropa, seperti Belanda, Belgia, Perancis, Inggris, dan Swiss. Kala itu Arini berangkat dari kepercayaan Kokar. Misi kesenian pun berlanjut ke negeri Paman Sam pada tahun 1986. Perjalanannya ke Amerika diundang oleh Sanggar Sekar Jaya, sanggar tari Bali yang berlokasi di Amerika. 

Kala itu ia pentas untuk pertama kalinya, sekaligus mengajar. “Sampai disana saya disuruh mengajar orang asing, membuat tarian baru, lalu pentas bersama. Jadi ada 3 saya dapat pengetahuan baru, saya bikin tari, mereka bikin gambelannya yang pertama itu Kawit Legong,” ungkap Arini. Sejak itu, bukan kali itu saja Arini menapaki diri ke Amerika, kunjungannya berlanjut secara berturut-turut ditahun 2001, 2005, berlanjut lagi ditahun 2010, 2011, dan terakhir ditahun 2013. 

Hal yang paling dinikmati dalam setiap perjalannya adalah ketika ia selalu mendapatkan sumber penciptaan baru. Arini masih ingat betul perjalannya dalam menyusuri bagaimana Legong pertama kali diciptakan. Menurut cerita arini, daerah Pejogan Agung di Sukawati, di Ketewel asal mula legong pertama. Kala pertama ke lokasi, Arini terkesima melihat banyaknya tapel / topeng yang diupacarai setiap Hari Raya Pagerwesi, dan saat itu juga tarian itu urut ditarikan. “Waktu pertama ada itu, bingung kok ada tapel disini? Lalu melihat togog-togognya semua menari pakai pakaian legong. Disitulah orang Sukawati membikin legong pertama,” jelas Arini bersemangat. 

Semua sejarah Arini tarikan di Amerika dengan konsep waktu lalu, waktu saat ini, dan waktu sekarang, Arini lanjut menceritakan, “yang sekarang ada di atas panggung, yang kemudian dan dulu ada wayang. Jadi kita main dengan wayang. Ada wayang disampingnya, ada tariannya. Diatas panggung itu yang today, apa yang terjadi saat ini. Dan wayang itu yang dulu dan yang akan datang.”

 

Janji dengan Sahabat di Negeri Sakura, Tak akan Berhenti Menari

Tak terbayang bagi Arini apabila ia tak berjumpa dengan Sakibara, wanita Jepang yang belajar menari Bali dengannya. Kala itu kondisi Arini telah menikah dan ia hanya mengisi hari-hari dengan mengajar menari di sanggarnya, Sanggar Warini. Saki, bertanya pada Arini kala itu Arini sampai umur berapa menari? Arini menjawab cukup lesu saat itu, tetapi tetap berusaha tegar. “Saya sudah berhenti menari, karena sudah punya anak, di Bali kan kalau sudah punya anak tidak menari lagi. Saya pikir diri saya begitu dulu,” kenang Arini. 

Bukannya mengiyakan perasaan Arini, Saki sangatlah marah dengan keputusan Arini. Sambil menirukan perkataan Saki saat itu, Arini berujar, “jangan berhenti menari, umur saya sekarang sudah 42 tahun. Kamu masih umur segini mau berhenti menari, kamu mau jadi apa?” Arini merenung sejenak, penuturan Saki menampar dirinya. 

Kondisi Bali yang erat dengan budaya patriarki, justru membelenggu bakat menari Arini yang kala itu sudah memiliki 2 orang anak. Saki mengajaknya berjanji dengan menyodorkan jari kelingkingnya. Arini menghapus keraguannya dan tidak ingin lagi menyia-nyiakan kesempatan. Keduanya pun mengikatkan janji agar selalu menari, dengan cara sederhana tetapi tetap hangat, kepercayaan dan janji kelingking.

Arini tengah menghayati Topeng Galuh, bara semangat untuk selalu menari tak pernah padam

“Makanya tiang terus ngingel nika, munyin iya dingeh tiang. Seken tiang terus ngajahin, ngigel.”

“Makanya saya terus menari, penuturan dia (Saki) saya dengarkan. Benar saya terus mengajar nari.” 

Persahabatan Arini dan Saki terus berlanjut. Usia Arini saat itu telah menginjak ke-75 tahun dan Saki berusia 90-an tahun. Keduanya kerap berkomunikasi, tetapi belum pernah bertemu lagi secara langsung. Arini saat itu menuju ke negeri sakura karena ada misi seni lagi. Kala itu, ia tak menyangka bahwa Saki yang juga seorang guru tari, turut hadir di pementasan yang sama dengan Arini. 

Haru pun pecah, murid Arini dan murid Saki berinisiatif mempertemukan keduanya. Ia heran, tetapi sungguh amat haru dan bahagia. Hubungan Arini dan Saki semakin erat, akhir tahun 2018 Arini ke Jepang, mengajarkan cara menghidupkan gerakan tari, memberi taksu.

 

Pembelajar Tiada Akhir

Sejak belia, semangat belajar Arini sunggulah tinggi. Tidak hanya belajar ke sang paman, Arini yang ditemani sang ayah berkelana mencari guru tari Bali terbaik disetiap daerahnya. Beberapa diantaranya seperti Ridet, Jero Puspa, Oka Sading, bahkan Ketut Mario. Kala Arini ingin mempelajari Legong Saba di Gianyar, sang ayah dengan semangat membonceng Arini dengan sepeda gayung. Pesan ayahnya yang paling diingat Arini adalah untuk selalu membagikan ilmu tarinya kepada siapapun.

Arini pernah menjadi bagian dari Listibya diusianya yang ke-30 tahun. Sebagai bagian dari Listibya, Arini menyusuri berbagai desa hingga pelosok Bali, untuk menemukan talenta-talenta di dunia tari Bali. Ia tak pernah berhenti belajar, dalam setiap kunjungannya Arini selalu menemukan hal baru dan itu ia simpan dalam catatannya. 

Semangat pantang menyerahnya untuk belajar dan mengabdi menghantarkan Arini meraih predikat maestro tari. “Tiang maan maestro nika uling Jakarta, tahun 2015,” tutur Arini. Mulanya ia sempat ragu diberi anugrah maestro tari dari Jakarta, sebab di Bali ia belum dianugrahi gelar serupa. Arini bercerita tahun 2014, ia menuju Taman Ismail Marzuki untuk menari Condong. Lalu ditahun 2015 ia dengan seniman lainnya dari berbagai daerah diberi anugrah maestro tari.

Ujian yang datang memberinya semangat belajar dan mengajar. Pada tahun 2017, beberapa pejabat dibidang kesenian yang berasal dari pemerintah pusat datang mengecek sanggarnya. Mereka meminta Arini menunjukkan bukti-bukti selama menari dan berkesenian. Seusai mengecek Arini diminta ke Jakarta diuji mengajar tari kepada murid yang secara acak diberikan kepadanya dengan syarat dalam waktu dua minggu seluruh penari harus bisa menari dan siap pentas di Yogyakarta. 

Kala maestro lain memilih untuk menari langsung di depan bersama muridnya, Arini tidak. Ia membiarkan muridnya menari dengan leluasa, tanpa contoh dari siapapun. Saat gong selesai mengalun, barulah Arini menaiki panggung. Tak disangka grup yang ia bina mendapatkan peringkat pertama, ia dan murid dua pekannya itu merasa amat bahagia. Arini sukses besar mengajar tari. Bahkan kemunculan Arini diakhir panggung itu pun menjadi ikon Lantip, Lansia Aktif Peduli pada masa itu.

Arini tetap menjalin komunikasi dengan rekan-rekan sesame organisasi Lantip. Melalui grup whatsapp, Arini saling berbagi cerita dengan sesama lansia yang selalu memiliki semangat belajar tinggi. Hingga saat ini Arini selalu bersyukur dan seolah tidak percaya segala kesempatan baik selalu menghampirinya. “Kadang-kadang saya berpikir dan selalu bersyukur sama Tuhan, kok diberikan kesempatan begitu, lalu saya terus bersyukur. Semua itu tidak ada suatu kebetulan. Semua sudah diatur sama beliau. Kita serahkan semua pada beliau,” tutur Arini. 

Meskipun raga yang menua membuat Arini terkadang merasa sakit, ditambah lagi semenjak kepergian sang suami, pasangan sekaligus sahabat terbaik dalam hidupnya Gusti Made Alit, Arini terkadang merasa kesepian. Namun, ia tetap melanjutkan hidup dengan penuh semangat. Setiap pagi, ia selalu bersyukur dalam setiap kehidupan di pagi harinya ia menghilangkan sedihnya dan meyakinkan diri jangan sakit, sebab bagi Arini sakit berawal dari pikiran.

Adanya pandemi Covid-19 cukup mmembatasi interaksi Arini dengan murid-muridnya. Namun, sejak level PPKM diturunkan kesempatan untuk mengajar lagi kian terang. Akhirnya, Arini kembali mengajar ke-60 muridnya dengan menerapkan protokol kesehatan yang ketat. Hari-hari senjanya pun tetap Arini habiskan dengan sangat produktif. “Karena kita dibilang harus kreatif ya, selalu memang otak saya, ada komputer, saya catat apa yang saya tahu,” tutur Arini bersemangat. Sehingga ketika segala ide dan materi tercatat, ketika ada mahasiswa yang mengunjunginya untuk bertanya, Arini sudah sangat siap berbagi.

 

Memberikan Cinta

Arini yang merupakan seniman asli Denpasar, tepatnya Banjar Lebah kali ini turut terlibat dalam Denpasar Festival ke-14, menarikan salah satu ikon topeng dalam konsep Tri Datu Denpasar. Tahun lalu, dirinya bersama sang murid dipercaya menggarap Baris Kekupu. Sebelum mengajar tari kepada murid-muridnya, Arini selalu memberikan kalimat pamungkas. “Saya sehat, saya pintar, saya cerdas. Saya bahagia dengan penuh cinta,” ujar Arini dengan senyum merekah.

Setiap muridnya harus ditanamkan kebahagiaan. Memulai menari harus dengan berdoa terlebih dahulu. Arini tidak pernah menjatuhkan semangat murid-muridnya, ketika ada gerakan tari yang salah, Arini tidak mengatakan itu jelek. Ia akan memperbaiki dan berkata, “Saya dimana-mana bilang, halo cantik-cantik sekali, sudah bisa menari? Ayo belajar nari dulu. Ini dibenerin dulu.” 

Tak terasa, obrolan senja itu hingga matahari dijemput sang malam. Harapan Arini yang sederhana menutup pembicaraan. “Harapan saya yaitu agar anak-anak selalu diberi cinta, dengan penuh cinta dia akan berkreasi,” tutur Arini lembut.

 

Musik dapat memantik seseorang untuk melakukan sesuatu, musik juga dapat bicara melebihi dari tutur kata. Hal ini dipercayai oleh Jun Bintang, seorang musisi Bali yang karyanya telah meluas di berbagai kalangan. Selama berkiprah di dunia musik, ia selalu menekankan kepada attitude dan kedisiplinan, tak heran jika karya-karyanya acap dihargai oleh masyarakat. 

 

 

Menapaki jejak sebagai musisi merupakan hal mulia bagi I Madé Juniartha atau yang kerap dikenal dengan nama Jun Bintang. Menurutnya membuat orang lain merasa bahagia adalah suatu hal yang luar biasa “Musik itu adalah seni saling menghargai” ucap Jun Bintang

Saat dijumpai di Kesiman, Denpasar pada (3/12) ia mengenang kisah perjalanan masa lalunya sebelum menjadi musisi idola di berbagai kalangan seperti saat ini. “Profesionalnya saya mulai terjun menjadi musisi dari tahun 1998, tapi saat itu masih bermain musik dari satu tempat ke tempat lain dengan menyanyikan lagu orang lain” ungkapnya. Lebih dalam, Jun Bintang masuk ke dalam kenangan masa lalunya tatkala ia bersama teman-temannya menggagas suatu band yang bernama Bintang Band pada tahun 2003. Setahun setelahnya Bintang Band sudah berhasil mencetuskan beberapa lagu bahkan berhasil menciptakan album. Namun, karena saat ini terhalang kesibukan masing-masing, Jun Bintang juga aktif bersolo karir dan kerap kali berkolaborasi dengan musisi lainnya. 

Memilih menjadi seorang musisi merupakan suatu panggilan hati baginya. Terlebih aliran seni sedari awal sudah mengalir di darahnya, ibu dan kakeknya merupakan seorang seniman. “Ibu saya penari, kakek saya tukang kendang, dan bapak saya polisi. Saat kuliah masih saja terbawa kesenangan saya dalam bernyanyi, hingga saya mendapat tawaran membentuk sebuah band” kenangnya. Jun Bintang mempunyai anggapan bahwa orang lain akan lebih menghargai jika mempunyai karya. Oleh karena itu, Jun Bintang terus mencoba menggarap karya-karya dan bonusnya ia mendapat respon positif dari masyarakat hingga ia beberapa kali berhasil menghelat konser “Saat itulah saya memutuskan diri menjadi musisi” tegasnya. 

 

Lika-liku Pengelanaan Menjadi Seorang Musisi

Selama berkelana menjadi seorang musisi, Jun Bintang mengatakan bahwa rasa sukanya lebih dominan dibandingkan rasa duka. Ia menceritakan betapa bangganya karya yang ia cetuskan bisa diterima khalayak luas dan tentunya semakin banyak relasi yang ia bisa bangun.   “Kemana-mana saya ada teman, misalnya pas istirahat di hotel saat konser ada saja teman-teman yang datang membawakan makanan” ceritanya. Sebagai musisi, Jun Bintang merasa geraknya kurang bebas saat berpergian karena banyak dikenal masyarakat luas. Namun, hal itu malah mendorong Jun Bintang kerap menjaga attitude dan dapat mengontrol emosi. 

Jun Bintang tatkala membagikan pengalamannya di dunia musik pada (3/12)

Dalam perjalanan karirnya, Jun Bintang mengaku terinspirasi dari Grup Band Slank, hingga saat ini bahkan ia bisa bersahabat dengan Akhadi Wira Satriaji atau kerap disapa Kaka yang merupakan vokalis Grup Band Slank. Tak hanya itu, Jun Bintang juga mengaku bahwa semua musisi adalah inspirasinya, menurutnya semua musik dari genre apapun dapat menjadi inspirasi.

“Dari mana saja, misalnya dari curhatan teman saya yang sedang diselingkuhi, dikhianati. Saya mendengarkan cerita mereka, terbitlah lagu” ujar Jun Bintang saat ditanya mengenai inspirasi dalam membuat sebuah lagu. Hebatnya waktu yang Jun Bintang perlukan dalam membuat sebuah lagu tergolong singkat yaitu dalam kurun waktu lima menit hingga satu jam. “Tergantung suasana hati” katanya sambal tertawa. 

Pembuatan karya kadangkala bersifat spontanitas, ketika sedang bahagia dan sedih seniman bisa menjadi ahli dalam mencetuskan lagu, begitulah yang dirasakan oleh Jun Bintang dalam proses penciptaan karya. Ia juga mengatakan bahwa layaknya seniman harus banyak menghayal, karena dari khayalan tersebutlah muncul ide-ide kreatif yang kemudian dielaborasi menjadi sebuah karya. “Alam sudah mengatur, seniman yang mampu bertahan adalah seniman yang memiliki attitude yang baik” lanjutnya.

Proses menjadi musisi yang dikenal khalayak seperti saat ini tidaklah mudah bagi Jun Bintang. Saat awal berkarir, ia juga sempat terkena bully melalui sosial media. Tetapi ia tidak patah karena hal tersebut, ia berpikir bahwa meladeni hal itu hanyalah membuang waktu. “Seniman harus kebal dan mental baja. Kapan kita berkarya jika kita sibuk memikirkan hal seperti itu?” ungkapnya. Dalam perjalanannya hingga saat ini Jun Bintang mengaku bahwa sang istri yang menemani dari awal karirnya, ia juga mengungkapkan bahwa keluarganya terus mendukung pilihan yang ia ambil. 

Saat diwawancara, Jun Bintang juga membocorkan bahwa ia sedang berencana mengeluarkan album solo yang kedua dan sedang dalam proses penggarapan lagu untuk Band-nya. 

 

 

Kerinduan Konser di Kala Pandemi

Mengingat konser, Jun Bintang mengaku rindu bersua dengan banyak orang dan mengumandangkan baitan lirik bersama.

Sewaktu konser, tak hanya lagu yang Jun Bintang bagikan, melainkan juga seraya mengedukasi para penonton contohnya adalah edukasi tentang narkoba, seks bebas, dan bahaya sampah plastik. Baginya tempat edukasi terbaik adalah disaat perform, khalayak ramai datang dan harapannya setelah konser usai terbesit informasi positif di pikiran penonton. “Saya ngasi tau teman-teman yang menonton konser saya bahwa mereka bukan hanya menonton saya bernyanyi, tapi saya harap ada hal positif yang bisa saya beri ke mereka.” tegasnya

Jun Bintang menanamkan prinsip pada dirinya bahwasanya perform yang bagus adalah permof yang dapat menginspirasi para penonton. “Selain menghibur juga dapat mengedukasi itu adalah tugas seorang entertaint” tegas Jun Bintang

 

 

Melalui Musik, Banyak Hal yang Tercipta

Senyumnya merekah saat ditanya mengenai respon masyarakat terhadap karyanya. Rasa bahagia terlihat jelas saat karyanya bisa diterima dan diketahui oleh banyak lapisan masyarakat. “Kebahagiaan seorang musisi itu adalah ketika karya kita diterima orang lain dan apalagi bisa mengedukasi juga. Musik bisa berbicara melebihi kata-kata, bisa mendorong orang untuk melakukan banyak hal.” ujarnya.

Jun Bintang juga beranggapan bahwa musik itu mempertemukannya dengan banyak orang. Dengan itu, Jun Bintang bersama teman-teman menggagas konser amal dan dana yang di dapat dibagikan untuk korban bencana alam dan orang yang memerlukan bantuan. “Saya menjadi ketua Musisi Bali Peduli, yaitu kumpulan musisi yang peduli dengan bencana alam terlebih yang ada di Bali” tambahnya. Menurutnya pula, musik dapat bermanfaat bagi banyak orang dan ia juga percaya bahwa semua hal tidak harus diperhitungkan dengan uang. “Adakalanya bermain musik untuk beramal. Keren kan hidup bermanfaat bagi orang lain.” ucapnya

 

Pandemi Bukan Halangan untuk Berkarya

Tak terhalang situasi pandemi, sebagai musisi Jun Bintang tetap berkarya bahkan berhasil menciptakan album solo dan kerap menulis beberapa lagu. Ia percaya bahwa semua diciptakan dengan akal, karena itu ia berusaha mengakali dirinya agar bisa menyesuaikan diri dengan situasi saat ini, seperti kian terjun dalam dunia Youtube dan mengedukasi melalui sosial media. “Pandemi juga bisa mendatangkan rezeki, asal kita mengakalinya dengan baik dan bisa menyesuaikan diri dengan keadaan. Jangan hanya karena pandemi kita berhenti berkarya.” Pesannya

Saat ini, keaktifan Jun Bintang di kanal Youtube juga menjadi sorotan publik. Dalam kanalnya, ia menggandeng bintang tamu yaitu Kaka dari Grup Bland Slank. Tidak sebatas itu, ia juga aktif berkolaborasi dengan artis-artis lainnya. Ia mengungkapkan podcastnya sedang digemari masyarakat saat ini, berrnama Kopling yang merupakan singkatan dari Kopi Keliling. “Saya iseng saja bikin dengan Puja Astawa, taruh kamera di depan dan tanya jawab, ternyata banyak yang suka. Akhirnya diseriusin dengan membeli peralatan yang lebih bagus” ceritanya. 

“Ternyata saya baru sadar, Youtube itu bisa menginspirasi banyak orang dan bisa sebagai pegangan hidup jika diseriusin” ujarnya. Selain itu, respon dari masyarakat yang terbilang sangat baik dan bahkan jumlah penontonnya kian bertambah. Namun, Jun Bintang sendiri tidak berpatokan kepada jumlah penonton, ia lebih mementingkan agar kanal Youtubenya bisa sebagai media berbagi informasi kepada banyak orang. 

 

Pemunculan Musisi Baru, Rasa Bangga Tercipta

Musik tidak runtuh oleh jaman, semakin hari terus bermunculan musisi baru dengan berbagai karakter. “Banyakan musisi yang sudah jadi itu dulunya pemalu, musisi itu harus berani narsis. Kalo kita tidak menunjukkan bakat kita makan tidak akan ada yang tahu” Ucapnya. Sebagai penyanyi yang sudah cukup lama berkiprah di dunia musik, ia mengaku terus belajar. Menurutnya pula sebagai musisi harus memiliki pembeda dengan musisi lain dan memiliki karakter sendiri. 

Mendukung musisi baru, Jun Bintang menyediakan tempat bernama Stel Peleng yang merupakan café musik untuk mewadahi musisi-musisi baru. Jun Bintang mengatakan bahwa tidak sedikit musisi yang kesulitan mendapat panggung atau tempat untuk menunjukkan karyanya. “Banyak yang datang, tinggal daftar dan main. Mereka ingin diapresiasi dan ditonton” ujarnya saat ditanya mengenai antusiasme musisi baru. 

Jun Bintang juga tak henti-hentinya menegaskan bahwa skill yang baik diimbangi dengan kedisiplinan dan attitude yang baik, maka akan tercipta Band yang hebat. Ia kerap didatangi oleh musisi-musisi baru untuk meminta saran atau sekedar sharing. “Jika mereka ingin karyanya dinilai, maka saya nilai dan berikan masukan yang membangun juga. Sebagai musisi juga harus bisa menerima kritikan, mengkritik bukan berarti menghina. Mengkritik boleh tapi harus ada solusi. Itu yang saya tekankan” ujarnya

Harapnya kepada musisi-musisi Bali untuk tetap aktif mencetuskan karya-karya yang indah karena pandemi bukan alasan untuk berhenti berkarya. “Musik itu bukan ajang untuk gagah-gagahan, musik harus menginspirasi, kadang lagu sederhana bisa diterima banyak orang. Musisi Bali hebat-hebat dan saya bangga menjadi musisi Bali” ucapnya dengan semangat.

Jun Bintang juga berpesan kepada musisi-musisi yang baru merintis karir untuk terus melakukan hal baik untuk penggemar. “Tetaplah buat kebaikan hingga kejahatan lelah mengikuti. Jika dari awal kamu menginginkan suatu yang baik, buat sesuatu yang baik  maka hasilnya pasti baik.” tambahnya  

“Dengan diadakannya Denfest ini bisa menjadi bentuk kepedulian pemerintah terhadap seniman Bali dengan memberikan ruang untuk berkarya, dan menjadi tolak ukur seniman kota dan pemerintah untuk terus mendukung musisi” tutupnya