Catur Muka nampak ramai dengan ratusan masyarakat yang senantiasa menanti mata acara yang ditunggu – tunggu tiap tahunnya. Parade tematik yang dimulai tepat pukul 17.00 WITA tersebut seolah memanggil seluruh masyarakat yang melintasi kawasan Gajah Mada untuk menghentikan aktivitas dan beristirahat sejenak. Sebuah pagelaran utama yang mengobati kerinduan masyarakat di Kota Denpasar, inaugurasi pembukaan yang digelar tepat di alun – alun patung Catur Muka hadir dengan gelaran kolaborasi pementasan yang menjadi penanda dimulainya pesta perayaan akhir tahun Denpasar Festival ke-16. 

 

Penari baris yang menjadi salah satu penampilan dalam parade tematik yang membawakan spirit pura – puri – pasar dalam Inaugurasi pembukaan dan parade Denpasar Festival ke-16

Kolaborasi kreasi yang memadupadankan ikon – ikon di sekitaran Catur Muka menjadi tonggak yang mewarnai gelaran Denfest tahun ini dan mengisyaratkan sebuah kejayaan dalam tema Denpasar Festival ke-16, Jayastambha. Konsep segar turut disuguhkan untuk mengajak masyarakat mengingat kembali pilar – pilar penyangga budaya dan kejayaan Kota Denpasar melalui garapan dengan spirit utama Pura – Puri – Pasar. Inaugurasi Pembukaan dan Parade dibuka dengan adegan pertama yang menampilkan iringan penari lelontekan dan tari baris dengan membawa bendera berwarna hitam, putih dan merah. Prosesi ngider bhuana yang dilakukan dengan mengelilingi alun – alun catur muka diiringi dengan gamelan yang turut menggemakan semarak pembukaan inaugurasi.

 

Penari pendet yang menjadi penggambaran spirit pura sebagai adegan awal dari Inaugurasi Denfest 

Tak lama berselang, ratusan penari hadir mengelilingi kawasan Catur Muka dengan membawa garapan sesolahan rejang dan pependetan sebagai bentuk antusiasme masyarakat dalam menyungsung tetamian yang menjadi penggambaran spirit pura dalam garapan pertama inaugurasi tersebut. Ibu – ibu yang nampak menari dengan anggung kian dipercantik dengan balutan pakaian adat berwarna putih dengan kain poleng dan selendang berwarna tri datu. Iringan sesolahan rejang tersebut menjadi penanda dibukanya adegan parade selanjutnya. Penggambaran konsep puri hadir dengan penampilan penari yang berlakon layaknya Raja hadir dengan iring – iringan panji kerajaan yang digambarkan dengan pemain musik kendang dan ceng – ceng, serta paduan penari legong. Perpaduan musik, penari legong dan pancaran kewibawaan raja seolah menghidupkan kembali konsep puri yang menjadi pilar penguat Kota Denpasar. I Gede Arya Swastika selaku koreografer garapan inaugurasi pembukaan tersebut turut menyampaikan, “Mengulas Jayastambha sebagai tonggak kejayaan tentu didalamnya terdapat ikon kerajaan, keterkaitan akan kerajaan itu dapat diibaratkan dengan puri, 1200 penari rejang tersebut terdiri atas ibu – ibu yang ingin mengapresiasi secara tulus pagelaran Denpasar Festival” ungkapnya. 

Penari yang melakoni raja dalam garapan inaugurasi Denfest menjadi penggambaran spirit puri 

Kemeriahan parade terus berlanjut dengan iringan tari kerakyatan dengan nuansa komikal dengan menghadirkan tokoh Bhatari Melanting yang duduk dengan anggun dengan balutan kostum merah dan pernak – pernik yang khas berupa nampan yang dipadupadankan dengan untaian kain hitam dan merah sebagai tokoh sentral beserta 8 penari rempah. Penggambaran spirit pasar atau melanting sebagai simbol kemakmuran dan perputaran ekonomi dalam sebuah sistem pasar digambarkan dalam busana 8 penari rempah yang mengenakan topi petani yang dihiaskan dengan pis bolong. Pande Putu Kevin Dian Muliarta selaku koreografer turut menyampaikan penggalian ide awal dari konsep inaugurasi tahun ini, “Awalnya kita bicara tentang Kota Denpasar ada apa, ada situs – situs pura, ada situs puri yang masih bertahan hingga kini, dan pasar kita juga sebagai sentral ekonomi dari situ kita lihat dan kita buatkan konsep berupa pura – puri dan pasar sebagai simbol berjalannya sistem peradaban yang sudah kita wariskan sedari dulu” ungkap Kevin. 

Penari rempah dengan menampilkan pertunjukan teatrikal yang menggambarkan spirit pasar 

Ketiga situs yang menjadi penggambaran konsep inaugurasi Denpasar Festival ke-16 kemudian kian meriah dengan kehadiran seluruh penari baris yang menari di 4 titik perempatan dengan ornamen 4 warna berbeda – beda membawa tombak panjang sebagai simbol penyangga kejayaan suatu peradaban turut membangkitkan semarak perjuangan. Adegan klimaks pun turut disuguhkan dengan kehadiran penyanyi yang membawakan lagu Ratu Anom. Iringan musik bali turut membuka gerbang hadirnya ratusan anak yang berbusana adat tradisional, membentuk formasi sembari membawa balon berwarna – warni menggemakan akan diresmikannya pesta akhir tahun Kota Denpasar ini. Inaugurasi pembukaan Denpasar Festival ke-16 resmi dibuka dengan penyerahan gelungan oleh Wali Kota Denpasar, I Gusti Ngurah Jaya Negara, S.E. kepada penari baris yang dibawakan oleh anak – anak. Kevin turut menyampaikan penari yang diwakilkan oleh anak – anak tersebut menjadi simbol tunas – tunas yang nantinya akan menjaga tonggak kejayaan Kota Denpasar menghadapi era globalisasi. 

Penyerahan gelungan kepada penari baris oleh Wali Kota Denpasar, I Gusti Ngurah Jaya Negara, S.E., serta Wakil Walikota I Kadek Agus Arya Wibawa, S.E., M.M. beserta jajaran  menjadi seremoni dibukanya Denpasar Festival ke-16 secara resmi 

Inaugurasi menjadi gerbang awal dibukanya seluruh rangkaian empat hari pelaksanaan Denpasar Festival ke -16, Jaya Negara turut menyampaikan bagaimana penggambaran konsep Inaugurasi pembukaan dan parade denfest tahun ini, “Sekarang kita memberikan kesempatan anak – anak untuk tampil di arenanya sendiri” ungkap nya. 

Sesi foto bersama oleh seluruh tamu undangan dengan penari yang menjadi penutup Inaugurasi Pembukaan dan Parade Denpasar Festival ke-16 

Terlaksana secara tatap muka, Denpasar Festival ke-15 tahun 2022  dengan mengusung tema cahaya keindahan digelar kembali di Gajah Mada, sentral perekonomian dan kawasan heritage Kota Denpasar. 

Di sepanjang kawasan heritage Gajah Mada, berderet bangunan klasik, pertokoan, dan beragam aktivitas publik yang berjalan setiap saat. Kekhasan kawasan heritage Gajah Mada membuatnya menjelma sebagai bukti perkembangan kota. Tak heran bila kawasan dengan nuansa lama ini menjadi pusat dari berbagai aktivitas budaya dan kesenian Kota Denpasar, salah satunya Denpasar Festival. Perhelatan akhir tahun Kota Denpasar yang kini kembali digelar secara tatap muka di kawasan jalan Gajah Mada tentu saja menarik atensi setiap orang untuk berkenalan dengan keunikan dari kawasan  tersebut. 

Jalan Gajah Mada pada awalnya difungsikan sebagai jalan provinsi. Akan tetapi, kini setelah pengembangan Kota Denpasar, kawasan ini beralih menjadi jalan kota dan menjadi akses utama masuk ke Kota Denpasar. Melintas di sepanjang 800 meter ujung Barat jalan Thamrin, setiap masyarakat yang telah memasuki kawasan Gajah Mada akan disambut dengan pesona patung Catur Muka yang kokoh berdiri di tengah lalu lalang aktivitas masyarakat. 

Bernostalgia bersama Arsitektur Kuno Pertokoan Gajah Mada 

Perkembangan dan revitalisasi di wilayah Kota Denpasar tak mengikis guratan seni masa lalu yang tergambarkan dari kawasan Gajah mada. Jajaran pertokoan yang memiliki arsitektur seragam, berlantai dua dan tiga dengan struktur lantai atas yang menjorok kedalam, menciptakan gang-gang berkanopi di bangunan pertokoan Gajah Mada tersebut. Perpaduan arsitektur khas Tionghoa, Belanda dan Bali turut memberikan ciri khas dan warna tersendiri dari kawasan ini. 

Sudut kota dengan ragam pernak-pernik lampu jalanan bergaya Eropa, turut mempercantik pedestrian di kawasan tersebut dan seakan mengingatkan kita akan sejarah masa lampau dari kawasan Gajah Mada yang dulunya pernah menjadi sentral kegiatan ibu kota pada masa penjajahan Belanda. Ragam estetika masa lampau seperti papan nama serta bangku taman turut dipertahankan sehingga memberikan nuansa kolonial di kawasan tersebut. 

Landscape kota tua Denpasar  di Kawasan Gajah Mada saat ini menjadi salah satu peninggalan sejarah berwujud yang memberikan nuansa historikal bagi setiap pengunjung yang hendak melakukan aktivitas atau sekedar melintas di kawasan tersebut. Menapaki kawasan Gajah Mada seakan diajak bernostalgia di atas arus modernitas dan globalisasi yang kian cepat dari masyarakat.  

Sejalan dengan perkembangan kultur budaya masyarakat Kota Denpasar, turut memunculkan seniman-seniman lokal yang kian kreatif menuangkan pemikiran dalam bentuk guratan seni. Penataan tata ruang dan revitalisasi kawasan Gajah Mada menjadi bukti nyata kolaborasi apik dalam menambah nuansa seni dan mempertahankan eksistensi di tengah gencaran globalisasi. Dua buah patung setinggi 3 meter dengan tema Sang Kala Tri Semaya karya I Nyoman Gede Sentana Putra (Kedux) dan Patung Ratu Mas Melanting sebagai karya dari Putu Marmar Herayukti berdiri dengan elok dan kini dapat dinikmati di sekitar kawasan heritage Gadjah  Mada. 

Kawasan Heritage dengan beragam aktivitas perekonomian publik  

Tepat pada tahun 2008, pemerintah Kota Denpasar meresmikan kawasan Gajah Mada sebagai salah satu kawasan heritage di Kota Denpasar.  Keunikan dari karakter dan ciri khas kawasan Gajah Mada tersebut turut mengubah kawasan ini menjadi kawasan heritage dengan berbagai aktivitas publik di dalamnya. Beragam bangunan tua yang kokoh berdiri, difungsikan sebagai pusat pertokoan dan bisnis masyarakat kota dari dulu hingga kini. 

Berdirinya dua pasar tradisional terbesar, yaitu Pasar Badung dan Pasar Kumbasari, serta jajaran pertokoan yang melintang di sepanjang kawasan Gajah Mada menjadikan kawasan tersebut dikenal menjadi pusat perekonomian masyarakat Kota Denpasar. Pecinan Gajah Mada, begitulah kawasan ini dikenal pada masa lampau yang tentunya memiliki makna tersendiri, yaitu kawasan yang sebagian besar diisi oleh masyarakat etnis Cina yang berprofesi sebagai pedagang. 

Kawasan pecinan yang kini dikenal sebagai kawasan heritage Gajah Mada menjadi tapak sejarah perekonomian masyarakat di masa sebelum kemerdekaan Indonesia. Aktivitas ekonomi dari berbagai elemen masyarakat  memberikan tampilan nyata perkembangan perdagangan dan bisnis yang demikian pesat di kawasan tersebut. Kini, beragam aktivitas pertemuan penjual dan pembeli di kawasan Gajah Mada menjelma menjadi berbagai bentuk seperti pasar tradisional, pasar malam kuliner lokal, dan juga pasar seni. 

Perkembangan globalisasi juga turut menjadikan kawasan ini sebagai sentral perekonomian dari berbagai elemen masyarakat, yang memberi warna dan refleksi pluralitas di Bali dengan spirit kebudayaan. Kini, kisah jalan Gajah Mada dengan berbagai keunikan dan sejarah historikal menjadikannya sebagai representasi kota tua Kota Denpasar. Pada kawasan ini juga akan digelar Denpasar Festival ke-15 yang berhelat pada 21-25 Desember 2022. 

Tarian Topeng Arsa Wijaya

“Arsa Wijaya. Tokoh Dalem berwajah manis pada Topeng Wali, melambangkan pemimpin yang membawa harapan (arsa) dan kemenangan (wijaya) bagi rakyatnya”

Kutipan yang berasal dari Buku “Spirit Denpasar Festival, Esensi Kepemimpinan Arsa Wijaya Menata Denpasar Abad XXI” melukiskan karakter yang dipancarkan Topeng Arsa Wijaya. Secara visual, rupa topeng ini berwajah tampan, bermata sipit, memakai urna, dominan berwarna putih.

Kehadiran penari dengan Topeng Arsa Wijaya dalam sebuah lakon garapan topeng di Bali, muncul setelah Tokoh Penasar yang bertindak selaku narator, komentator, penerjemah, dan pelawak. Tokoh Penasarlah yang mengendalikan alur cerita.

Suasana seketika berubah saat garapan berganti menjadi topeng berwajah tampan, bertindak penuh wibawa dan halus. Topeng itu adalah tokoh raja, Topeng Dalem atau Arsa Wijaya. Kehadirannya sebagai seorang raja, membawa pesan atau peristiwa baik itu berupa peperangan maupun upaya perdamaian.

Topeng Arsa Wijaya – Sumber foto diunduh dari https://museum.isi-dps.ac.id/index.php/2019/01/18/dalem-arsewijaya-mask/

Menarik garis linimasa historisnya, jejak seni tari topeng, hidup sekitar abad ke-10 pada masa pemerintahan Raja Jaya Pangus. Bukti sejarahnya terpatri pada Prasasti Jaya Pangus yang menyatakan adanya pementasan dengan menggunakan penutup wajah atau topeng.

Suratan sejarah tak hanya tertuang dalam Prasasti Jaya Pangus, Prasasti Blantih pun juga. Prarasti yang berusia kurang lebih 1059 Masehi ini mengungkap bahwa topeng telah dikenal dan banyak dipergunakan untuk pementasan.

Jejak sejarah lainnya terpatri dalam Prasasti Ularan Plasraya menyebutkan saat pemerintahan Dalem Waturenggong di Gelgel (1460-1550) menaklukkan Kerajaan Blambangan, mereka membawa pulang beberapa barang rampasan yang salah satunya adalah satu peti topeng.

Sejak dulu hingga kini, keberadaan topeng Bali tak lepas dari sendratari topeng yang menjadi kebutuhan ritual upacara keagamaan. Cerita dalam sendratari biasanya diambil dari sejarah kerajaan, kisah legenda atau dari kitab Ramayana.

Apabila melihat dari segi gerak tari, Topeng Arsa Wijaya termasuk ke dalam topeng halus, dengan gerak yang lembut tetapi tetap memunculkan ketegasan. Rupanya dengan mata sipit atau segi tiga tumpul, memakai cudamanik atau u na di dahi, bibir tersenyum, gigi terlihat, warna putih atau kehijauan adalah perwujudan raja yang arif dan bijaksana.

Khusus dalam pementasan topeng diperlukan sesajen yang disebut peras untuk sesajen tapel, yang jumlahnya dua buah, satu pada waktu membuka peti tapel. Sajen ini merupakan peras untuk pasupati yaitu untuk “menghidupkan” tapel. Sesajen yang satu lagi digunakan pada waktu sesudah selesai pementasan.

Prof Bandem saat menarikan tarian Topeng Arsa Wijaya dengan teknik Ngunda Bayu

Prof. Dr. I Made Bandem, MA., menjelaskan selama dirinya menari, Ia selalu berpegang pada teknik Ngunda Bayu, yang merupakan distribusi energi ke seluruh tubuh ketika sedang menari sehingga tidak mudah lelah. Teknik Ngunda Bayu amatlah penting untuk digunakan bagi para seniman Bali khususnya penari. Prof Bandem menambahkan setiap tarian memiliki teknik ngunda bayu yang berbeda-beda, termasuk pula dalam menarikan Topeng Arsa Wijaya.

Ngunda bayu sangat diperlukan agar saat penari di atas panggung tidak kehabisan tenaga, bagaimana pengolahan tenaga dari awal sampai akhir agar seimbang. Sebagaimana Swasthi Widjaja (1995:1), menyatakan bahwa ngunda bayu adalah menyalurkan atau mendistribusikan tenaga secara sambung-menyambung untuk menghasilkan gerak, kemudian tenaga dihasilkan lagi, didistribusikan lagi, sehingga menghasilkan gerak, tenaga dihasilkan lagi, dan seterusnya sesuai dengan kebutuhan.

Topeng Arsa Wijaya beserta filosofinya menjadi tema besar sebuah nafas kehidupan berlangsungnya Denpasar Festival ke-14 yang diharapkan mampu meramu harapan dari rakyat sehingga mampu memetik buah kemenangan bersama.

 

Diolah dari beberapa sumber:

Beberapa Tari Upacara Dalam Masyarakat Bali oleh Drs. Anak Agung Gede Putra Agung

Rupa Mitologi Topeng Bali oleh AS Kurnia dalam BaleBengong.id

Topeng Menyingkap Karakter Manusia Dan Sejarah Masyarakat oleh Kadek Suartaya, SSKar., Msi, Dosen PS Seni Karawitan ISI Denpasar

Tari Topeng Dalem Arsa Wijaya: Mata Kuliah Program Darma Siswa Ri Di ISI Denpasar Tahun 2018 oleh I Wayan Budiarsa

 

Ilustrasi Tri Datu

Tri Datu bukanlah istilah yang asing untuk diserap kelima indra manusia Bali. Tri Datu justru kian lumrah terpatri di memori maupun keseharian masyarakat Bali hingga luar Bali. Memaknai istilah Tri Datu menjadi salah satu semangat Denpasar Festival (DenFest) tahun 2021 dalam mewujudkan kemenangan harapan dalam kehidupan masyarakat di Kota Denpasar.

Mulanya pasti ada saja yang bertanya, apa hubungan Tri Datu dalam kontekstualisasi kehidupan manusia? Dan mungkin saja ada yang bertanya apa hubungannya dengan Denpasar Festival (DenFest) tahun 2021?

Kebanyakan orang menganggap bahwa Tri Datu merupakan benang dengan tiga warna yaitu merah, hitam, dan putih. Menggunakan benang Tri Datu sudah menjadi hal yang karib bagi masyarakat Hindu di Bali. Tak hanya umat Hindu di Bali, tak sedikit pula umat non-Hindu mengenakan benang Tri Datu dengan alasan tersendiri.

Namun, yang jelas hal ini tidak dapat terlepas dari masifnya promosi pariwisata di masa lalu yang turut diiringi dengan penjualan aksesoris berbau keagamaan. Apakah hal tersebut merupakan bentuk kreativitas beragama, dalam heterogenitasnya zaman? Belum ada jawaban yang pasti.

Terlepas dari benang atau gelang Tri Datu yang kian populer di berbagai kalangan, hal esensial yang patut terjawab adalah apa sejatinya makna dari Tri Datu. Proses memaknai Tri Datu sangat erat korelasinya dengan filosofi ajaran agama Hindu. Secara etomologi, Tri Datu berasal dari kata Tri dan Datu. Tri berarti tiga, dan Datu berarti raja / Dhatu yang berarti elemen warna. Sehingga Tri Datu dapat berarti Tiga Raja yaitu tiga dewa utama dalam Hindu.

Dewa Tri Murti, Brahma, Wisnu, dan Siwa Sumber gambar https://www.prints-online.com/trimurti-three-forms-sanskrit-brahma-14183860.html

Tiga dewa yang dimaksud adalah Dewa Tri Murti, yakni Dewa Brahma sebagai sang pencipta dengan aksara Ang, Dewa Wisnu sebagai sang pemelihara dengan aksara Ung dan Dewa Siwa sebagai sang pelebur dengan aksara Mang. Ketiga aksara tersebut apabila menyatu menjadi aksara AUM, bila diucapkan menjadi OM. Aksara OM merupakan aksara suci umat Hindu serta memiliki nilai magis yang luar biasa sebagai simbol dari Ida Sang Hyang Widhi Wasa.

Eksistensi pemakaian Tri Datu hingga kini, sejalan dengan panjangnya alur sejarah awal mula pemakaiannya di Bali. Pada abad ke-14 hingga ke-15, tatkala Dalem Watu Renggong memegang tampuk kerajaan di Bali, adalah awal dari pemakaian Tri Datu. Sewaktu Dalem Watu Renggong menaklukkan Dalem Bungkut atau Nusa oleh Patih Jelantik, telah terjadi kesepakatan anatara Dalem Bungkut / Nusa dengan Dalem Bali bahwa kekuasaan Nusa diserahkan kepada Dalem Bali begitu pula rencang dan ancangan Beliau (Ratu Gede Macaling) dengan satu perjanjian akan selalu melindungi umat Hindu / masyarakat Bali yang bakti dan taat kepada Tuhan dan leluhur.

Sedangkan mereka yang lalai akan dihukum oleh pararencang Ratu Gede Macaling. Bila saat beliau akan melakukan tugasnya maka Kulkul Pajenanengan yang kini disimpan dan disungsung di Puri Agung Klungkung, jika berbunyi maka sebagai pertanda akan ada malapetaka atau wabah. Oleh karena itu, agar dapat membedakan masyarakat yang bakti dengan tidak, ditandai dengan pemakaian benang Tri Datu. Hingga saat ini sejalan dengan khasnya orang Hindu di Bali, maka benang Tri Datu merupakan amat identik sebagai identitas semeton Hindu Bali yang tidak tergantikan oleh apapun karena selalu dilindungi oleh aura kedewataan.

Zaman berganti, begitu pula dengan pemimpinnya. Namun, benang tiga warna ini tetap abadi digunakan sebagai gelang, hingga segala bentuk perlindungan lainnya yang diyakini memiliki kekuatan Tuhan bagi penggunanya. Benang ini banyak mengandung nilai dan makna diantaranya, sebagai perwujudan tiga dewa utama dalam Agama Hindu. Benang ini pun diyakini sebagai simbol keseimbangan, dan manunggal. Tri Datu adalah simbol. Peradaban manusia memang tak dapat terlepas dari simbol-simbol.

Alhasil dalam koridor simbol itu, maka manusia disebut Homo simbolicum, yang selalu bersentuhan dengan simbol-simbol, akan kerap hadir dalam kehidupan sehari-hari. Manusia Bali akrab dengan simbol. Keberadaan simbol ini menyentuh ke setiap aspek kehidupan manusia Bali utamanya dalam ritual maupun adat istiadatnya. Lahirnya simbol tidak terlepas dari kegelisahan manusia untuk memaknai diri dalam alam semesta yang luas. Meskipun terkungkung dalam keterbatasan analisisnya, justru menjadi sarana manusia untuk berfilsafat, memaknai segala yang ada di semesta dengan simbol-simbol. Fenomena yang terjadi di masa kini, simbol-simbol buah pemikiran masa lampau, menjadi daya hayat penciptaan karya baru, salah satunya karya seni budaya.

Topeng Arsa Wijaya

Simbol, rasa, dan seni ibarat proses fotosintesis. Simbol yang tercipta dihayati dengan rasa, ibarat matahari dan unsur hara yang membantu seni tumbuh dan berkembang. Denpasar Festival tahun ini mengupayakan pemaknaan Tri Datu sebagai pemuliaan jalinan kehidupan, agar seni termasuk aspek kehidupan lainnya mampu membangkitkan semangat kreatif dengan karya-karya inovasi terbaik, serta pelaksanaan kegiatan festival yang aman dan sehat di masa pandemi Covid-19 melalui konsepsi kegiatan yang tersebar (desentralisasi) pada ruang-ruang ekspresi yang ada di Kota Denpasar. Arsa Wijaya, Kemenangan Harapan adalah tema yang menjiwai kelahiran kembali Denpasar Festival tahun ini digambarkan dengan tokoh topeng Arsa Wijaya. Kehadiran topeng Arsa Wijaya tidak sendirian, memaknai simbol Tri Datu, dua topeng lainnya turut mengiringi Arsa Wijaya, mewujudkan kemenangan harapan. 

 

Bentang jalinan Tri Datu dalam Denpasar Festival adalah simbol dari kemenangan harapan yang menuntun masyarakat Kota Denpasar, khususnya seniman dari berbagai bentuk seni tradisi maupun modern, Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) untuk tetap bangkit di tengah keadaan yang sulit. Bagaimanakah wujud estetika dari memaknai Tri Datu dalam Denpasar Festival? Semua akan terjawab pada pembukaan DenFest yang teguh memuliakan jalinan kehidupan Kota Denpasar, dan dengan segala ciri khasnya, ia (Denpasar-red) selalu dirindukan dan dinantikan.