Denpasar Festival ke-15 tak henti-hentinya menampilkan musisi dan seniman berbakat di Provinsi Bali. Ketidaksempurnaan bukanlah halangan untuk giat berkarya, begitulah perhelatan Denfest yang turut memberi ruang kepada komunitas tuna netra nan mahir bermusik, ialah Nirkala Bali.
Tak kalah menarik hati, gelaran Denpasar Festival hari kedua kembali menghadirkan musisi-musisi berbakat. Pukul 16.45 WITA, gema musik mulai mengalun lantang di kawasan Lapangan Puputan Badung. Pentas musik tersebut dibuka oleh band alternative asal Bali, Benten +62 selama 30 menit.
Kemudian dilanjutkan oleh Nirkala Bali yang mengisi panggung hiburan selama 30 menit dengan membawakan empat buah lagu dan satu buah puisi. Nirkala Bali merupakan suatu komunitas seni tuna netra yang dirintis sejak 25 Oktober 2019. I Wayan Dika Satyana Jaya atau yang karib disapa Dika selaku Koordinator dari Nirkala Bali mengungkapkan bahwa dirinya merasa senang tatkala diundang untuk mengisi acara di Denfest tahun ini, “Rasanya kalo dari saya pribadi, bahagia sekali sangat berbangga bisa hadir di denfest sebagai salah satu musisi tuna netra di Denpasar,” tutur Dika pada Kamis (22/12) seusai tampil.
Selain itu, band kolaborasi pop-etnik Bali yang bernama “Emoni” turut menghiasi pemanggungan Denfest tahun ini. Band yang memiliki ciri khas dengan membawakan gending rare (lagu anak-anak) ini seolah mengajak penonton bernostalgia akan asyiknya masa kecil. Terdapat beberapa lagu yang dibawakan yaitu, Ketut Garing, Goak Maling, dan dua lagu lainnya yang tercakup dalam album keempat Emoni.
Gungde Raka Gunawarman yang sering disapa Gungde selaku vokalis Emoni juga mengungkapkan hal yang serupa dengan Nirkala Bali, dirinya mengaku senang karena bisa mengobati rindu akan penampilan luring. “Seneng banget bisa ketemu penonton langsung, lebih plong walau musim tidak mendukung.Ini panggung temu kangen lagi, dimana sebelumnya kami sempat menyanyikan lagu Denpasar Festival,” ujar Gungde.
Lebih lanjut, sebagai salah satu band lokal asli Bali, Emoni memiliki komitmen untuk mendigitalisasi seni tradisi lisan agar tetap awet, “gending rare itu tradisi lisan, jadi kami punya ide yaitu mendigitalisasi tradisi lisan. Agar 20 bahkan 100 tahun lagi, lagu ini masih ada, bahkan pada album Ning-ning Cening banyak lagu penggalian, yang tidak pernah orang dengar banyak,” ungkap Gungde malam itu.
Suasana semakin berseri ketika para penonton ikut berkumandang bersama menyanyikan lagu yang dibawakan oleh Emoni. Gungde selaku salah satu seniman menganggap bahwa perhelatan Denpasar Festival tahun ini sudah mampu mewadahi kreativitas pemuda di Bali. “Saya lihat dengan beberapa panggung yang ada, panggung tradisi dan modern sepertinya sudah dibuat untuk mewadahi semua kreativitas dan aktivitas para pemuda. Ini saya lihat dari hari pertama dan terakhir kan banyak musisi dan seniman,” tutup Gungde.
Sementara itu, beberapa musisi asal Bali turut serta berdendang bersama penonton Denfest seperti Side Effect, Bass Bross, Made Mawut, Gustu Brahmanta, kolaborasi Crazy Horse bersama Balawan, alunan cantik dari Underground Jazz Movement, serta penampilan Nanoe Biroe di penghujung acara yang menghebohkan panggung Lapangan Puputan Badung.
Meski sempat terhambat hujan selama beberapa saat, tetapi para penggemar Nanoe Biroe tak kehilangan geloranya untuk bertemu dan berdendang bersama idolanya. Nanoe Biroe yang bergenrekan musik rock, reggae, pop dan punk berbahasa Bali tersebut menyajikan beberapa lagu terbaiknya dan berhasil menutup hari kedua Denpasar Festival dengan semarak.
Leave a Reply
Want to join the discussion?Feel free to contribute!