Napak Tilas Denpasar Festival
Di Denpasar, kebudayaan lokal-global terus berkembang secara dinamis dalam rajutan masyarakat yang modern, kritis, multikultur dan didominasi oleh generasi berusia produktif.
Alhasil, Denpasar berkembang menjadi sebuah ekosistem kebudayaan berbasis generasi milenial yang mempunyai pribadi open-minded, ekspresif dan berani, terutama dalam melestarikan warisan pusaka budaya sekaligus memperjuangkan bentuk-bentuk kreativitas baru dalam keterkaitan pilar-pilar industri budaya yang puspawarna.
Di samping tatanan kemasyarakatan yang heterogen dari perspektif agama dan etnisitas, kompleksitas kehidupan di Denpasar dipengaruhi pula oleh posisi Denpasar sebagai the Heart of Bali di mana roda pemerintahan Bali dan Denpasar, berikut perekonomian, pendidikan, kesehatan, dan transportasi berpusat di Denpasar.
Selanjutnya, Denpasar bukan kota yang bertumpu pada industri manufaktur, namun pada industri kreatif, khususnya yang berkaitan dengan pusaka alam, budaya dan saujana. Khazanah industri budaya inilah yang mendominasi kehidupan di Denpasar dan kian hari menjadi roh daripada strategi pembangunan Kota Denpasar di masa kini.
Ida Bagus Rai Mantra Dharmawijaya selaku Walikota Denpasar (2008-2021) dalam berbagai kesempatan mengungkap bahwa kemajuan Denpasar sebagai “kota yang hidup dan harmonis” bergantung kepada jalinan kolaborasi four helix ‘pemerintah, akademisi wasta dan warga masyarakat’ dalam membangun dan mengembangkan Kota Denpasar sebagai domain kreatif yang berwawasan budaya dan mampu menyinergikan keadiluhungan tradisi dengan kedinamisan kehidupan modern.
Bagi Pemerintah Kota Denpasar, “kreatif” menjadi paradigma dan fondasi utama dalam memajukan kebudayaan sebagai kekayaan dan jati diri Denpasar, dan dalam menyikapi proses dan dinamika kebudayaan yang terus berubah serta terbuka akan interaksi dan interpretasi baru, Rai Mantra terus mendorong “kreativitas” sebagai prakarsa lahirnya karya-karya yang mumpuni dan bernilai, baik persembahan maupun penghidupan.
Tentu, roda kreativitas yang dimaksud adalah daya cipta yang mampu “menghidupkan” dan “menyeimbangkan” khazanah akar kultur tradisi dengan tawaran modernitas yang kian melaju ke depan. Tercapainya tingkat keharmonisan saat kehidupan tradisional dan modern saling memperkaya akan memastikan kebudayaan yang tak stagnan, tak narsistik namun terbuka dan flesibel, dan terpenting menghadirkan cipta, rasa, karsa dan karya yang reflektif, terpandu dan terencana.
Langkah mendasar yang telah diimplementasi oleh Pemerintah Kota Denpasar dalam upaya pemajuan kreativitas budaya adalah pelaksanaan berbagai kegiatan budaya termasuk kajian, penyediaan fasilitas, dan gelar kreativitas secara berkesinambungan.
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Semesta Berencana Kota Denpasar Tahun 2016-2021 mengelaborasi bahwa cakupan kajian budaya termasuk sarasehan, pelatihan, konservasi, revitalisasi, pengarsipan, dan dokumentasi. Kegiatan kajian budaya lanjut ditingkatkan dengan pemenuhan fasilitas budaya, terutama yang berkaitan dengan peningkatan mutu sumber daya manusia (SDM) Kebudayaan, Lembaga Kebudayaan, dan Pranata Kebudayaan. Pemberian penghargaan dan bantuan kepada seniman dan budayawan berprestasi, penyediaan fasilitas pemanggungan dan pameran, pembinaan sekaa ‘organisasi seni’, kaderisasi dan pemetaan jenis dan organisasi kreatif termasuk dalam cakupan fasilitas budaya ini. Sedangkan, gelar budaya adalah pelaksanaan berbagai ragam pagelaran, lomba, misi kesenian dan festival.
Kesemarakan kegiatan budaya tersebut tak lepas dari maraknya perkembangan sekaa kesenian di Denpasar yang berdasarkan penelusuran BPS Kota Denpasar (2015) mengungkap keberadaan setidaknya 30 jenis sekaa kesenian tradisional, dengan jumlah total mencapai 648 sekaa kesenian. Jumlah total ini didominasi sekaa gong kebyar yang mencapai 186 organisasi. Secara konsisten pula, Pemerintah Kota Denpasar melaksanakan berbagai dialog budaya seperti Purnama Badrawada, Grebeg Aksara, Parum Param dan Tilem Dipa Bhawana.
Sepanjang tahun, Denpasar pun menjadi tuan rumah dari berbagai festival yang khas. Festival Ogoh-Ogoh, Heritage Omed-Omedan Festival 2018, Festival Layang- Layang Internasional, Pesona Pulau Serangan, Pekenan Lais Meseluk, Denpasar Book Fair, Sanur Village Festival, Rare Bali Festival, Maha Bandana Prasadha, DTIK Festival adalah beberapa festival kreatif yang kemudian berpuncak kepada pelaksanaan Denpasar Festival (Denfest) pada penghujung tahun berjalan. Nampak jelas bahwa masyarakat Denpasar proaktif dalam memanggungkan khazanah kreativitasnya dan memosisikan festival sebagai suatu kebutuhan yang mendasar.
Denfest sebagai aktivasi penting dari visi “Denpasar Kreatif Berwawasan Budaya dalam Keseimbangan Menuju Keharmonisan” tak hanya sebagai ruang pembangunan ekonomi kerakyatan, namun juga sebagai ajang akbar tertampilnya pelbagai proses dan produk kebudayaan – tradisi maupun modern – dari yang ikonik semacam kebyar dan endek, maupun yang sedang tumbuh menjadi ikon, seperti animasi, seni instalasi dan performace art.
Pada tahun 2009 saat persiapan pelaksanaan Denfest, Rai Mantra dengan bersemangat mengatakan bahwa,“Program ini (Denfest) harus mampu menjadi cermin bagi tumbuhnya kebudayaan urban di Denpasar yang tidak menolak keberagaman tetapi tidak juga melepaskan pijakan awalnya, yakni warisan budaya unggulan yang dibangun para kawitan.”
Cikal bakal Denfest diawali dengan pelaksanaan Gajah Mada Town Festival (GMTF) pada tahun 2008. Pada saat itu, Pemerintah Kota Denpasar melaksanakan GMTF dengan pengaturan sebuah street festival untuk mendukung program revitalisasi kawasan legendaris Gajah Mada sebagai kawasan heritage atau pusaka budaya. Bertemakan Inspirational Memories, GMTF berhasil menjawab kerinduan masa lalu akan hiruk-pikuk kawasan Gajah Mada sebagai pusat pemukiman multietnis, perekonomian, hiburan dan gastronomi ternama di Bali pada masa tahun 1960-1980- an.
Kesuksesan pelaksanaan GMTF mendorong Rai Mantra untuk memperluas cakupan festival tersebut, sekaligus mentransformasinya menjadi Denfest, tak hanya sebagai story telling ‘pengisahan’ yang otentik terhadap masa lalu Denpasar, namun utamanya sebagai momentum menyuarakan masa depan Denpasar yang berlandaskan kreativitas unggul dan berdaya saing global. Berselang setahun, Denfest pun berhasil dilaksanakan melalui pelibatan penuh event management dan event organizer dalam tautan koordinasi lintas OPD yang kompleks, serta menjunjung tinggi kaidah the Five E’s atau Lima E.
Pertama, Denfest dan berbagai gelaran kreativitasnya memberi enlightenment atau pencerahan bagi diri pribadi dan masyarakat, terutama membangkitkan fungsi seni sebagai persembahan serta ungkapan keindahan, syukur dan toleransi. Persembahan kreativitas, khususnya kesenian tradisional meluaskan cakrawala masyarakat modern akan kekayaan unsur-unsur kebudayaan yang terdiri dari tradisi lisan, manuskrip, adat- istiadat, ritus, pengetahuan tradisional, teknologi tradisional, seni, bahasa, permainan rakyat, dan olahraga tradisional.
Kedua, Denfest adalah ajang penikmatan kreativitas sebagai entertainment atau hiburan bagi masyarakat luas. Penampilan beragam seni tradisional maupun populer- modern pada saat Denfest dimaksudkan sebagai rekreasi kepada masyarakat umum untuk melepas kejenuhan dan merayakan Denpasar secara kolektif. Di lain pihak, Denfest memberi kesempatan bagi seniman, komunitas dan pelaku industri kreatif untuk berinteraksi, menginspirasi dan memperkaya pengalaman para pengunjung dengan penampilan karya-karya yang menghibur dan menggugah perasaan.
Ketiga adalah pemanfaatan Denfest sebagai education atau media pendidikan dan pembelajaran. Seni dalam berbagai bentuk seperti tari, musik, lukisan, puisi, teater dan lain-lain menggetarkan kalbu, memengaruhi semua indra perasaan dan menguatkan kecerdasan kognitif dan kepekaan afektif. Pelibatan anak-anak dalam Denfest pun diutamakan untuk merangsang berkembangnya talenta, kreativitas, kepercayaan diri dan interaksi sosial. Pada tatanan ini, Denfest menjadi ruang dialog yang efektif dan efisien bagi pemerintah saat mendiseminasi program-program pembangunan.
Keempat, Denfest mendorong bertumbuhnya aspek enterpreneurship atau kewirausahaan terkait ekonomi kreatif yang bertumpu kepada keunggulan sumber daya manusia dalam hal konten kreatif, pertunjukan kreatif, produk kreatif, ruang kreatif, serta riset dan pengembangan iptek. Seorang artpreneur mampu merespon keinginan pasar, memahami manajemen dan marketing modern – termasuk mampu menghitung modal produksi dan biaya variabel lainnya secara proporsional – dan meluaskan karyanya melalui pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi. Keterpaduan ini berdampak pada apresiasi publik yang baik dan kemandirian ekonomi berbasis seni.
Dan terakhir, Denfest adalah representasi ecology atau lingkungan, terutama dalam mengimplementasi nilai-nilai luhur Tri Hita Karana (relasi keharmonisan antara manusia dengan Sang Pencipta, dengan sesama, dan dengan alam lingkungan) dan Desa Kala Patra, bahwa adanya keberagaman kreativitas dalam hal ide (tema), bentuk (wujud), dan penampilan (penyajian) bila dikaitan dengan tempat, waktu, dan keadaan. Denfest pun mengartikulasi peranan penting kreativitas dalam menanggapi isu lingkungan dengan memberikan kebebasan bagi para kreator untuk menyuarakan kritik dan solusi dalam konteks ekspresi seni atas situasi lingkungan di Denpasar semisalnya masalah reklamasi, banjir, alih fungsi lahan, polusi, limbah, dan sampah.
Sumber: Urban Playground. Sebelas Tahun Perjalanan Denpasar Festival. 2018