Di bale banjar, kerap keluh-kesah krama (warga) membuncah. Di bale banjar pula, dialektika itu bergeliat, solusi pun ditemukan. Seperti itulah 10 Fine Art mengibaratkan diri. Keterbatasan ruang bagi seniman pemula dalam memajangkan karya mendorong mereka untuk berkomunitas dan berkolaborasi. Kini, mereka dapat menyambung hidup dari seni rupa.
Sulitnya ruang bagi seniman pemula itu diungkapkan oleh I Made Dolar Astawa, salah satu pelukis yang tergabung dalam komunitas seni rupa 10 Fine Art. “Pada situasi awal seniman komunitas ini sangat sulit untuk mencari ruang seni buat pameran itu sangat sulit. Paling kegiatan kita ngacung, di sana terjadi intervensi terhadap dunia seni dari pebisnis,” ungkap pria yang karib disapa Dolar saat dijumpai di Studio Batako (4/12). Saat itu Dolar masih duduk di bangku sekolah. Kegiatan berkesenian sebagai seorang kelahiran Gianyar terlebih dari darah keluarga Sangging membuatnya akrab dengan seni lukis sejak belia. Kala itu, ada pengepul lukisan yang memasarkan di daerah Ubud, ke galeri artshop-artshop. Dolar yang mengetahui lukisannya dapat memberi penghasilan kemudian memantapkan diri bahwa melukis bisa menjadi jalan hidupnya. “Sampai hampir setiap harilah kegiatan di kampung itu bersentuhan dengan itu odalan ya kalau tidak nari ya lukis, akhirnya ada kesenangan, ada hobi, punya keyakinan sampai hari ini hidup dari seni dan tidak punya apalagi,” tuturnya.
Namun, memupuk diri sebagai pelukis kepada level yang berikutnya ternyata tidak mudah. Ia kelimpungan mencari tempat untuk memajangkan karya. Lebih-lebih, ketika ia mengacung, kerap kali justru mendapat intervensi karya dari para pebisnis. “Misalnya, lukisan ini kurang cerah warnanya, pokoknya ditekan. Kebebasan seniman ini kan ter-renggut dia karena ekonomi,” lanjut Dolar. Ngacung, istilahnya untuk menjajakan hasil lukisan ke galeri-galeri maupun artshop-artsshop. “Kita bawa ini lukisan pakai sepeda motor ke galeri-galeri, jalan itu sepanjang jalan di sana kita masuk permisi pak ini saya tawari lukisan saya,” ceritanya seraya kembali memeragakan diri membawa lukisan. Sering kali yang didapatkan justru kritik atau bahkan dibayar hanya Rp. 50.000 – Rp. 100.000. Terkadang, ada saja yang menyepelekan lukisannya. “Aduh, parah. Kalau mental mental orang tidak kuat tidak ada yang mengambil jalan itu karena situasi dan kondisi yang membuat,” lanjut Dolar. Kondisi tersebut sebab akses internet masih sangat sulit. Bahkan, telepon hanya dimiliki oleh orang-orang tertentu. Respons yang didapatkan Dolar itu membuatnya berpikir kembali; berani atau tidak mengacungkan lukisannya di esok hari. Kesulitan itu membuatnya sebagai seniman rupa baru gelisah.
Terlebih saat itu pasar lukisan banyak didominasi oleh pelukis-pelukis ternama, seperti Nyoman Gunarsa. “Kegelisahan itulah yang kemudian saya bekerja di sebuah galeri dan saya beli karya teman-teman ini dengan harga murah dengan dijual harga mahal,” tutur Dolar. Ia misalnya, membeli lukisan dari Romy Sukadana dengan harga Rp. 300.000. Kemudian seolah turis dari Jerman membeli seharga Rp. 3.000.000. Namun, pelukis justru kurang sejahtera karena hanya mendapatkan keuntungan sebesar 40% dari hasil penjualan. Dolar kemudian bertekad agar pelukis dapat menjual langsung karya-karyanya. Ia kemudian mengumpulkan para seniman yang lukisannya telah terpajang di galeri tempatnya bekerja. “Di sana diskusi itu terus muncul, setiap ketemu dengan temen, kok seperti ini ya situasinya. Karena semua saya pikir punya kegelisahan yang sama,” katanya. Situasi dan tekanan tersebut membuat teman-teman pelukis Dolar yang sevisi kemudian memilih untuk menempuh jalan berkomunitas. Terkumpul-lah 10 orang yang menamai diri mereka 10 Fine Art tepat di tahun 2004.
Tidak Berhenti Berkesenian Meski Pariwisata Anjlok
Secercah harapan tersebut kembali terpelanting saat situasi kian dipersulit saat pariwisata Bali terpuruk akibat Bom WTC dan Bom Bali. Pariwisata Bali terpuruk. Turis surut, artshop sulit. Bahkan, banyak diantaranya yang tutup. “Tidak seperti kan biasanya turun drastis bisa 12 juta uangnya sudah besar pertahun. Akhirnya kita keluar uang kita buat sendiri. Dalam kondisi keadaan yang buruk kita tetap berkesenian,” tutur Dolar. Dolar besarma teman-temannya kemudian urun dana sebesar Rp.3.000.000 setiap orang untuk menyewa sebuah kontrakkan di daerah Sanur. Kemudian ia melanjutkan untuk urun dana lebih banyak, segalanya diinvestasikan untuk keperluan berkesenian. Lokasi kontrakkan yang tepat dipinggi jalan itupun menjadi tempat bersama untuk memajang karya-karya Dolar dan teman-temannya. “Ya gitulah sepakat kita buka (pameran seni rua), belum hitungan satu minggu, kita sudah membuktikan pertama kali ada lukisan temen kita jual, nah ini kan jelas ada bukti ada semangat bahwa wah ini kita bisa,” ungkapnya. Setiap keuntungan dari hasil penjualan digunakan sebanyak 30% ke komunitas untuk diputar kembali kepada aktivitas berkesenian.
Dolar menjelaskan, mereka hanya menamai kontrakkan itu 10 Fine Art tanpa embel-embel galeri ataupun lainnya. “Karena kita berkarya secara pure seni rupa, tidak seni pasaran apa maunya seniman seni kreatif,” ujar Dolar. Komunitas 10 Fine Art pun membiarkan orang-orang menilai diri mereka. “Yang penting isinya walaupun kita dipinggir jalan, intinya kita memajang karya, tambahnya. Lebih lanjut ia mengungkapkan bahwa lokasi 10 Fine Art pun terbuka untuk seniman lainnya yang ingin memajangkan karya maupun mengadakan pameran dengan tidak memungut ongkos. “Padahal kita kontrak kita kasi free. Karena kita ada komitmen juga di komunitas, bilamana kita mampu kita support dunia seni itu. Tidak hanya kita tapi seniman lain juga,” katanya. Kontrakkan 10 Fine Art itu pun berdiri hingga tahun 2011. Hal ini lantaran berbagai seniman di 10 Fine Art telah banyak yang kian mendunia. Kesibukkan itulah yang membuat mereka memiliki studio masing-masing.
Komunitas Seni Ibarat Bale Banjar
Tidak hanya sebagai tempat memajang karya, 10 Fine Art juga terbuka bagi seniman lainnya yang ingin transit. “Teman-teman seniman yang dari Ubud, main ke Denpasar ke Sanur pasti mampir ke tampat kita,” ucap Dolar. Ia teringat kata-kata seorang senior mengatakan bahwa tempat 10 Fine Art ibarat bale banjer. Dolar mengamini hal tersebut. “Kalau dulu di kampung para petani di sana keluh-kesahnya di bale banjar, cari solusinya di bale balnjar. Yang petani sulit solusinya dicari di sana. Terbuka di 10 untuk diskusi. Karena kita sadar gesekan ini menghasilkan sesuatu. Saling menasehati,” tambahnya. Di dalam komunitas ini, kritikkan saling dilontarkan. Bahkan tergolong kritikkan keras dalam sebuah karya. Namun, Dolar menganggap dinamika tersebut justru hal yang paling membangun kreativitas dan kembali menjadi bersemangat. Hal tersebutlah juga yang membuat mereka terus berkembang dan terus bersama hingga saat ini. Berkomunitas kini membuat mereka hidup dari seni dan menghidupi seni. 10 Fine Art pun kian terbaca di kancah seni rupa.
Menekan Ego
Di sisi lain, tentu dinamika para seniman di 10 Fine Art penuh dinamika. Silang pendapat sangatlah lumrah. “Membuat komunitas langgeng itu penekanan ego sangat penting. Mana urusan pribadi mana urusan kelompok,” ujar Romy Sukadana, seniman 10 Fine Art lainnya yang kala itu menemani Dolar. Kemudian, Dolar menambahkan, mereka tidak pernah mengalami konflik meski kecenderungan seniman memiliki ego yang keras. Keberagaman pemikiran dan karya justru telah menjadi identitas 10 Fine Art. Sebab, kounitas ini sama sekali tidak ingin menyeragamkan karya seni masing-masing, melainkan mewadahi berbagai jenis karya. “Kita buktikan bersama kan itu sebenarnya sangat masuk ke ruang pribadi sekali bagi seorang seniman. Itu buktikan disanalah sehingga kita bisa kolaborasikan satu karya, itu yang menguatkan kita. Artinya menjaga ego masing-masing,” kata Dolar.
Terbukti, beberapa pameran karya seni kolaborasi dengan berbagai gaya seni pun lahir. Dolar teringat ketika di Galeri Ganesha, lukisan 10 Fine Art menjadi karya kolaborasi perdana yang dipamerkan pada galeri tersebut. Saat 2004 juga, misalnya. Ketika awal-awal 10 Fine Art berdiri, mereka membuat pameran yang berisikan lukisan telanjang. Maknanya; ingin memperkenalkan diri secara jujur, tanpa sehelai kain pun. Yang paling berkesan, pameran ini bahkan hingga diliput berbagai media dan stasiun TV nasional. Lebih lanjut, dalam Denpasar Festival, 10 Fine Art juga turut mempersembahkan karya kolaborasi berupa 10 ornamen babi dan karya seni masing-masing memperingati 17 tahun kebersamaan.
Tetap Kukuh menjaga Kebersamaan
Gemilangnya kiprah 10 Fine Art ternyata banyak dilirik seniman lain bahkan dari luar Indonesia. “Dia sampai nyogok lagi disuruh tendang satu orang teman. Enak saja kamu,” cerita Dolar sambil menirukan percakapannya kala itu. Komunitas 10 Fine Art tetap teguh untuk saling merawat kebersamaan. Meski demikian, 10 Fine Art tetap terbuka bagi karya-karya kolaborasi. Misalnya beberapa pameran pernah mengundang satu seniman dari luar komunitas. Di sisi lain, pameran 10 Fine Art pun tak melulu bersepuluh. Kadang hanya berempat dan sebagainya. “Selama ini belum ada berhenti diganti dari awal 10 sampai sekarang tidak menutup kemungkinan untuk kolaborasi,” tambah Romy.
10 Fine Art juga menggunakan dana mereka secara arif dan bijak. Misalnya, mensubsidi pameran tunggal salah satu anggota, maupun memberi santunan kepada salah satu seniman yang mengalami musibah. Dolar kemudian memberi tips kepada para seniman muda. Baginya, semangat berkarya harus menjadi spirit utama. “Jangan berpikir ke finansial dulu nanti kecewanya berat. Berkarya nikmati itu prosesnya itu enjoy life akan menghasilkan dah karya karya indah,” ujarnya seraya tersenyum. Begitulah secangkir kisah Dolar dan 9 seniman seni rupa lainnya di Bali. Kini nama mereka kian melambung dan kian dikenal sebagai maestro seni rupa.
“Saya tidak bisa membayangkan seniman tanpa komunitas. Tidak tahu akan bagaimana. Mungkin teman-teman (10 Fine Art) tidak menjadi seniman. Mungkin tidak bisa menggantungkan hidupnya kepada seni.” ucap Dolar seraya tertawa. Siapa sangka, meski ruang seni rupa yang sangat sulit dan segala situasi di luar kendali manusia, 10 Fine Art menunjukkan ketekunan, kebebasan, kenyamanan selama 17 tahun. Kini, mereka benar-benar dapat hidup dan menghidupi dari seni rupa.
Leave a Reply
Want to join the discussion?Feel free to contribute!